YARA Serukan S.O.S. ke Presiden: Pulau Dirampas, Migas Disingkirkan-Ancaman Serius terhadap Perdamaian Aceh

BANDA ACEH- Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, mengirimkan sinyal darurat kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, terkait dua persoalan krusial yang berpotensi mengoyak ketenangan dan keadilan di Bumi Serambi Mekkah.

Pertama, ia menyoroti Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau di wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil-yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang-sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Menurut Safar, kebijakan tersebut bertentangan secara frontal dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan mengoyak konsensus historis dan hukum yang telah terbangun.

"Keputusan ini bukan hanya sepihak, tapi juga inkonstitusional. Ini adalah bentuk perampasan wilayah yang tidak bisa ditoleransi dan berpotensi merusak fondasi perdamaian yang telah dirajut sejak penandatanganan MoU Helsinki pada 2005," ungkap Safar dalam keterangan tertulisnya di Banda Aceh, Senin (16/6).

Safar menegaskan bahwa secara historis, yuridis, dan politis, keempat pulau tersebut merupakan bagian integral dari Provinsi Aceh. Hal ini tidak hanya ditegaskan dalam UUPA dan MoU Helsinki, tetapi juga dalam kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992.

"Kedekatan geografis dengan Sumatera Utara bukanlah dalih yang sah untuk mencaplok wilayah yang secara historis dan hukum telah diakui sebagai bagian dari Aceh," tegasnya.

Lebih lanjut, Safar mencurigai bahwa pengalihan administrasi keempat pulau tersebut memiliki kaitan dengan potensi sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi (migas) yang terdapat di kawasan itu. Ia mengingatkan bahwa tindakan semacam ini dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap semangat rekonsiliasi dan keadilan pasca-konflik di Aceh.

"Kami khawatir, potensi migas yang ada di wilayah ini menjadi motivasi tersembunyi di balik kebijakan yang mengabaikan hak-hak konstitusional rakyat Aceh," ujarnya.

Migas Aceh yang Dilemahkan: Implementasi PP 23/2015 Mandek

Persoalan kedua yang disoroti YARA adalah stagnasi dalam proses pengalihan pengelolaan lapangan migas di Rantau (Aceh Tamiang) dan Perlak (Aceh Timur) yang hingga kini masih dikelola oleh Pertamina dan SKK Migas, meskipun secara normatif seharusnya telah berada di bawah kendali Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015.

"Sudah seharusnya pengelolaan blok migas ini berada sepenuhnya di bawah pengawasan BPMA sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan UUPA. Namun hingga kini, pengalihan itu tidak kunjung terealisasi," kata Safar.

Menurutnya, keterlambatan ini tidak terlepas dari problematika internal, termasuk penunjukan Kepala BPMA yang dinilainya dipaksakan oleh Pj. Gubernur Aceh saat itu, Safrizal, tanpa mengindahkan keberatan dari berbagai pihak termasuk Komisi Pengawas BPMA, Muzakir Manaf, serta anggota DPR RI Nasir Djamil.

"Penunjukan Kepala BPMA dilakukan secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan aspirasi publik dan permintaan penundaan hingga dilantiknya Gubernur Aceh definitif. Ini sama saja dengan mengulangi kesalahan pengalihan empat pulau Aceh kepada Sumatera Utara, yang juga melibatkan nama Safrizal sebagai pejabat Ditjen Bina Adwil Kemendagri saat itu," tegasnya.

Safar menilai bahwa seluruh proses ini merupakan bentuk pembegalan hak Aceh secara sistematis, yang mengancam keberlanjutan perdamaian Aceh.

Permintaan Tegas kepada Presiden

Menutup pernyataannya, Safar meminta perhatian khusus dari Presiden Prabowo Subianto untuk segera menyelesaikan dua isu strategis ini. Ia mengingatkan bahwa ketidakadilan dan pengabaian terhadap kewenangan Aceh sesuai UUPA dapat merusak harmoni sosial dan politik yang telah dibangun dengan susah payah selama hampir dua dekade terakhir.

"Kami berharap Presiden Prabowo mengambil langkah tegas dan adil dalam menyikapi persoalan perampasan wilayah dan pengelolaan migas Aceh. Ini bukan semata soal administrasi, tetapi tentang penghormatan terhadap konstitusi, perdamaian, dan martabat rakyat Aceh," pungkas Safar, usai menghadiri penutupan acara penyerahan sertifikat Paralegal di Kantor Bupati Pidie.(Red)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru