Ketua DPR Aceh Tegaskan Tugas Penting Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA

BANDA ACEH - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang dipimpin Ketua DPRA Sulaiman, SE, MSM, didampingi para wakil ketua dan beberapa anggota DPRA lainnya, menggelar konferensi pers terkait Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA, di Gedung Serbaguna DPRA Jalan Daud Beureueh Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Rabu (18/06/2019). 

Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPRA Sulaiman, SE, MSM, poin-poin penting tentang tujuan pembentukan Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA. 

Menurut Ketua DPRA, Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) telah diselesaikan melalui sebuah perundingan di Helsinki (Finlandia) yang dituangkan dalam sebuah Nota Kesepahaman, dikenal dengan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Untuk manifestasi MoU Helsinki ini, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan Undang Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada 15 Agustus 2006, serta memenuhi beberapa komitmen lain, seperti amnesti bagi Tapol/Napol Aceh, penarikan pasukan TNI/Polri Non Organik dari Aceh dan lainnya.

Bahwa dalam kenyataannya setelah lebih dari 13 tahun MoU Helsinki (2005-2018) dan 12 tahun UUPA (2006-2018), masih banyak terdapat kendala/hambatan dalam penerapan UUPA sebagai sebuah Resolusi Konflik yang berkelanjutan dan bermartabat bagi semua, kendala dan hambatan ini sebenarnya sudah diprediksikan sejak awal oleh Tim Perumus RUU-PA dari Aceh dan telah diutarakan kepada Pemerintah RI melalui Bapak Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (tahun 2006), menjelang pengesahan RUU-PA oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) dalam Rapat Paripurna DPR-RI 15 Agustus 2006, namun ketika itu Bapak Wakil Presiden RI meminta agar Tim Aceh menerima saja dulu UUPA ini, jika nanti suatu saat ada yang perlu dikoreksi dan dianggap bermasalah, akan diperbaiki kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia. 

Tim Aceh ketika itu setelah berkonsultasi dengan Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai salah satu pihak Penandatangan Perjanjian MoU Helsinki, yang menilai bahwa perjanjian damai diantara Pemerintah RI ketika itu masih sangat rentan dan rapuh, karena beberapa kalangan di Pusat juga terlihat tidak sepenuhnya menyetujui komitmen yang telah dibuat oleh pihak GAM dengan Pemerintah RI ketika itu, serta kebutuhan penanganan korban bencana serta Rehabilitasi- Rekonstruksi pasca tsunami yang mendapatkan atensi yang tinggi dari masyarakat Internasional dan terpenting bahwa konflik ini terjadi di Aceh dengan korban terbanyak adalah rakyat Aceh sendiri. 

Pimpinan GAM berketetapan kuat bahwa Perdamaian Aceh harus segera hadir dan dinikmati oleh seluruh Rakyat Aceh dan mengatakan akan menunggu komitmen berikut dari Pemerintah RI guna pemenuhan semua klausula perjanjian yang telah disepakati dalam MoU Helsinki di waktu yang akan datang.

Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk sebuah tim yang diberi nama Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA Nomor 11 Tahun 2006 yang berfokus pada aspek kewenangan-kewenangan Aceh dan pendapatan Aceh. 

Tujuan utama dari pembentukan tim ini adalah: 

Pertama, mengkaji konsistensi norma norma dalam konteks Hukum Ketatanegaraan secara umum di Indonesia maupun Internasional, pengertian Gramatikal dari teks MoU Helsinki secara historis dan sosiologis, serta tingkat implementasi dan implikasi dari MoU Helsinki dan UUPA 11/2006 selama 13 tahun (2005-2018) dalam kontek perjanjian damai antara Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia. 

Kedua, menemukan dan menformulasikan kebijakan-kebijakan baru untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dari pelaksanaan MoU Helsinki dan UUPA 11/2006, dalam rangka mewujudkan jiwa dan semangat perdamaian berkelanjutan dalam falsafah "damai adalah ketika setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak-haknya".

Ketiga, secara berkesinambungan mendorong kedua pihak untuk konsisten melaksanakan butir-butir komitmen perjanjian damai MoU Helsinki dan UUPA 11/2006 dalam rangka semangat perdamaian dan meningkatnya kesejahteraaan bagi masyarakat Aceh Tim Kajian dan Advokasi ini bekerja sejak bulan Maret 2019 dan sedang melakukan penelitian lapangan sejak bulan Mei 2019 lalu. 

Tim terdiri dari Tenaga Ahli Praktisi dan Akademisi dari berbagai universitas di Aceh seperti Unsyiah, UIN Ar-Raniry dan Unimal. Kajian akademis ini dilakukan berdasarkan data-data sampling yang diperoleh dilapangan, Tim Kajian dan Advokasi ini juga akan mencakup 9 kabupaten/kota di Provinsi Aceh melakukan pengambilan data melalui wawancara dengan mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan proses pembentukan Perjanjian Damai MoU Helsinki dan UUPA, serta Pakar-pakar Hukum Tata Negara dan Keuangan Negara baik yang berada di Aceh, Jakarta dan maupun Luar negeri.

Output yang diinginkan adalah hasil kajian dalam bentuk naskah akademik, yang terdiri dari Buku I, tentang Kajian Normatif dan Konseptual MoU Helsinki dan UUPA Nomor 11/2006 dan Buku II tentang Implementasi dan Implikasi dari MoU Helsinki dan UUPA 2006 terhadap Perdamaian dan Kesejahteraan bagi Aceh. 

Hasil ini akan menjadi bahan Advokasi Politik, Hukum, Sosial dan Budaya dalam rangka keberlanjutan perdamaian antara Pemerintah dan Rakyat Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia. Ini akan menjadi bukti sejarah hasil komitmen penyelesaian konflik Aceh, melalui Perjanjian Damai antara GAM dengan Pemerintah RI di Helsinki-Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 yang lalu.

Beberapa hal yang menjadi soal dalam konteks MoU dan UUPA, diantaranya:

1. Bagaimanakah pemahaman "kewenangan aceh dalam semua sektor public"...? Apa-apa sajakah kewenangan yang dimaksud? Dan hanya dikecualikan untuk 6 bidang yaitu hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiscal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. 

2. Bagaimana kedudukan Qanun Aceh dalam Hirarki Perundang-undangan RI..? Karena Qanun Aceh merupakan aturan pelaksana turunan perintah dari UUPA dalam kedudukannya dengan Peraturan Pemerintah (PP), Keppres dan Kepmen..? Merujuk pada belum disetujuinya Qanun Bendera dan Lambang serta pengalaman gugatan terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang lalu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersumber dari dualisme pemberlakuan undang-undang terhadap UUPA. Serta Fungsi dan Kewenangan Kementerian-Lembaga Pemerintah dan Non Pemerintah terhadap Aceh, dalam hubungan Kewenangan/Ke-Khususan yang telah diberikan oleh MoU dan UUPA kepada Aceh?

3. Pembagian hasil sumber daya alam dan mineral antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat serta regulasinya yang masih bermasalah dan belum konkrit serta transparan, sehingga berpengaruh signifikan terhadap pendapatan Aceh.

4. Sistem perpajakan nasional dan perizinan yang masih bersifat sentralistik/terpusat, belum memberikan ruang bagi hasil yang konkrit buat Aceh, baik di darat, laut maupun udara, hal ini berdampak langsung pada kemampuan Aceh dalam pelaksanaan dan pengelolaan kewenangannya.

5. Dana Otonomi Khusus buat Aceh dalam UUPA kenapa hanya untuk jangka waktu tertentu..? Dan bukan untuk selamanya, logika dan mekanisme apa yang dipakai oleh Pemerintah Pusat untuk masalah ini.

6. Penanganan korban konflik dan mantan Kombatan yang merupakan bahagian dari Resolusi Konflik Aceh (MoU Helsinki), melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat kenapa dibiayai oleh APBAceh...?Apakah ada verifikasi menyeluruh dari Pemerintah Pusat terhadap soal ini..?

7. Transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh serta audit dan verifikasi atas semua kegiatan di Provinsi Aceh, belum terlaksana dan disampaikan hasil-hasilnya oleh Pemerintah Pusat kepada Kepala Pemerintah Aceh.

"Dan lain sebagainya klausula/komitmen yang ada dalam MoU Helsinki dan UUPA, yang akan menjadi lingkup penilaian Tim Kajian dan Advokasi ini," pungkas Sulaiman, SE, MSM.[]
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru