Menyembuhkan Luka Lama Aceh: 2.680 Korban Didorong Dapat Reparasi
0 menit baca
BANDA ACEH - Dua dekade setelah senjata diredam dan perjanjian damai ditandatangani di Helsinki, gema konflik Aceh masih terasa dalam bentuk lain — bukan letupan peluru, melainkan suara pelan dari mereka yang dulu terluka. Kini, sebanyak 2.680 korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa konflik direkomendasikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh kepada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk mendapatkan reparasi atau hak pemulihan dalam rentang waktu 2025–2030.
"Secara keseluruhan dari 2025–2030, BRA sudah menginput 2.680 data korban pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi KKR Aceh untuk mendapatkan reparasi," kata Ketua Pokja Reparasi KKR Aceh, Yuliati, di Banda Aceh, Jumat (31/10).
Tahun ini saja, menurut Yuliati, sebanyak 557 korban telah direkomendasikan untuk menerima reparasi dan tengah menunggu realisasi dari BRA.
Bagi para korban, reparasi bukan sekadar angka dalam laporan tahunan. Ini adalah bentuk pengakuan negara bahwa luka mereka nyata, dan penyembuhannya butuh lebih dari sekadar bantuan sosial.
Selama ini, reparasi diberikan dalam bentuk bantuan tunai, seperti yang telah disalurkan kepada 235 dari 242 korban pada 2022. Namun, arah kebijakan kini mulai berubah. Melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 100.3.2/1180/2025, yang diteken pada 29 September 2025, pelaksanaan reparasi non-yudisial akan dilakukan lewat dua skema baru: pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial.
"Kalau dulu tidak ada ketentuan khusus soal reparasi, sehingga diberikan dalam bentuk bansos. Tapi mulai ke depan sudah dalam dua skema, yaitu pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial," ujar Yuliati.
Langkah ini, katanya, bukan hanya soal memberi uang, tapi mengembalikan martabat dan kemampuan hidup korban secara berkelanjutan.
Sejak dibentuk, KKR Aceh telah mengambil pernyataan dari 5.155 korban pelanggaran HAM masa konflik. Sebagian besar dari mereka adalah janda, yatim, dan masyarakat sipil yang menjadi korban kekerasan bersenjata. Saat ini, 1.200 kasus lainnya masih dalam proses analisis kebenaran, sebelum bisa direkomendasikan untuk reparasi.
Bagi KKR Aceh, setiap pernyataan korban bukan sekadar data statistik. Ia adalah potongan sejarah yang selama ini nyaris tenggelam dalam diam.
Reparasi menjadi salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap negara, setelah sekian lama mereka merasa ditinggalkan. Dalam skema besar penyelesaian non-yudisial, reparasi ditempatkan sebagai pintu masuk bagi keadilan restoratif, membangun kembali kehidupan, bukan sekadar mengadili masa lalu.
Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sendiri adalah lembaga yang lahir dari rahim perdamaian. Didirikan pasca penandatanganan MoU Helsinki dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), BRA bertugas menampung berbagai program reintegrasi bagi mantan kombatan GAM, tapol/napol, dan korban konflik.
Kini, dua dekade kemudian, tugas itu berkembang: bukan lagi sekadar menyatukan mantan pihak bertikai, tapi menyembuhkan korban yang tersisa.
"Pemenuhan hak korban itu sifatnya berkelanjutan dan bisa mendapatkan lebih dari satu layanan, bahkan dalam situasi apapun. Baik kaya atau miskin, asalkan dia korban, dia berhak," tegas Yuliati.
Di tengah rutinitas pembangunan yang terus bergerak, program reparasi ini mungkin tampak sepi dari sorotan. Tapi bagi mereka yang pernah kehilangan rumah, keluarga, atau masa depan karena konflik, setiap kunjungan petugas KKR Aceh membawa makna yang tak ternilai: pengakuan bahwa penderitaan mereka diingat, dan hak mereka diupayakan.
Aceh telah lama berdamai di atas kertas. Namun, perdamaian sejati, sebagaimana diyakini para penyintas, baru akan terasa ketika luka batin mereka ikut disembuhkan.
Dan di situlah, pelan-pelan, KKR dan BRA mencoba mengembalikan makna kemanusiaan, di antara puing sejarah yang belum sepenuhnya usai.
"Secara keseluruhan dari 2025–2030, BRA sudah menginput 2.680 data korban pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi KKR Aceh untuk mendapatkan reparasi," kata Ketua Pokja Reparasi KKR Aceh, Yuliati, di Banda Aceh, Jumat (31/10).
Tahun ini saja, menurut Yuliati, sebanyak 557 korban telah direkomendasikan untuk menerima reparasi dan tengah menunggu realisasi dari BRA.
Bagi para korban, reparasi bukan sekadar angka dalam laporan tahunan. Ini adalah bentuk pengakuan negara bahwa luka mereka nyata, dan penyembuhannya butuh lebih dari sekadar bantuan sosial.
Selama ini, reparasi diberikan dalam bentuk bantuan tunai, seperti yang telah disalurkan kepada 235 dari 242 korban pada 2022. Namun, arah kebijakan kini mulai berubah. Melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 100.3.2/1180/2025, yang diteken pada 29 September 2025, pelaksanaan reparasi non-yudisial akan dilakukan lewat dua skema baru: pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial.
"Kalau dulu tidak ada ketentuan khusus soal reparasi, sehingga diberikan dalam bentuk bansos. Tapi mulai ke depan sudah dalam dua skema, yaitu pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial," ujar Yuliati.
Langkah ini, katanya, bukan hanya soal memberi uang, tapi mengembalikan martabat dan kemampuan hidup korban secara berkelanjutan.
Sejak dibentuk, KKR Aceh telah mengambil pernyataan dari 5.155 korban pelanggaran HAM masa konflik. Sebagian besar dari mereka adalah janda, yatim, dan masyarakat sipil yang menjadi korban kekerasan bersenjata. Saat ini, 1.200 kasus lainnya masih dalam proses analisis kebenaran, sebelum bisa direkomendasikan untuk reparasi.
Bagi KKR Aceh, setiap pernyataan korban bukan sekadar data statistik. Ia adalah potongan sejarah yang selama ini nyaris tenggelam dalam diam.
Reparasi menjadi salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap negara, setelah sekian lama mereka merasa ditinggalkan. Dalam skema besar penyelesaian non-yudisial, reparasi ditempatkan sebagai pintu masuk bagi keadilan restoratif, membangun kembali kehidupan, bukan sekadar mengadili masa lalu.
Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sendiri adalah lembaga yang lahir dari rahim perdamaian. Didirikan pasca penandatanganan MoU Helsinki dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), BRA bertugas menampung berbagai program reintegrasi bagi mantan kombatan GAM, tapol/napol, dan korban konflik.
Kini, dua dekade kemudian, tugas itu berkembang: bukan lagi sekadar menyatukan mantan pihak bertikai, tapi menyembuhkan korban yang tersisa.
"Pemenuhan hak korban itu sifatnya berkelanjutan dan bisa mendapatkan lebih dari satu layanan, bahkan dalam situasi apapun. Baik kaya atau miskin, asalkan dia korban, dia berhak," tegas Yuliati.
Di tengah rutinitas pembangunan yang terus bergerak, program reparasi ini mungkin tampak sepi dari sorotan. Tapi bagi mereka yang pernah kehilangan rumah, keluarga, atau masa depan karena konflik, setiap kunjungan petugas KKR Aceh membawa makna yang tak ternilai: pengakuan bahwa penderitaan mereka diingat, dan hak mereka diupayakan.
Aceh telah lama berdamai di atas kertas. Namun, perdamaian sejati, sebagaimana diyakini para penyintas, baru akan terasa ketika luka batin mereka ikut disembuhkan.
Dan di situlah, pelan-pelan, KKR dan BRA mencoba mengembalikan makna kemanusiaan, di antara puing sejarah yang belum sepenuhnya usai.
