Emas di Balik Duka, Cerita Longsor Maut di Bukit Panggong
0 menit baca
ACEH JAYA – Langit Desa Panggong, Kecamatan Krueng Sabee, siang itu tampak mendung. Di antara kabut tipis yang menggantung di perbukitan Blok 20, suara cangkul dan palu batu masih terdengar bersahutan.
Beberapa lelaki menggali tanah mencari butiran emas di sela bebatuan cadas — pekerjaan yang sudah mereka lakoni bertahun-tahun untuk menyambung hidup.
Namun sekitar pukul 14.30 WIB, Sabtu (4/10/2025), suara itu mendadak hilang. Tanah di sisi tebing tiba-tiba bergerak, menggulung lumpur dan bebatuan, menimbun tiga penambang yang sedang bekerja di bawahnya. Dalam hitungan detik, lokasi tambang yang biasanya ramai mendadak berubah menjadi lautan tanah longsor.
"Awalnya terdengar seperti suara gemuruh kecil, lalu tanah langsung turun. Kami tak sempat lari," kata Muhyan, satu dari dua penambang yang selamat. Wajahnya masih terlihat pucat, mengenang momen yang merenggut sahabatnya sendiri.
Korban yang meninggal dunia adalah Zaman (44), warga Desa Pasie Teube, Kecamatan Pasie Raya. Sehari-hari, ia dikenal sebagai sosok pekerja keras, ayah dari dua anak, yang menggantungkan hidup dari tambang emas tradisional di perbukitan itu.
"Dia orang baik, sering bantu teman-teman di tambang. Kami semua kehilangan," ucap Muhyan lirih.
Longsor itu juga menimpa Zulfikar, yang kini dirawat di RSUD Teuku Umar Calang karena mengalami patah tulang dan luka-luka. Evakuasi korban dilakukan secara gotong royong oleh warga, dibantu tim BPBK Aceh Jaya. Lumpur tebal dan medan licin membuat proses pencarian berlangsung sulit dan penuh risiko.
Antara Risiko dan Harapan
Kepala Pelaksana BPBK Aceh Jaya, Ag Suhadi, mengatakan longsor terjadi akibat kondisi tanah labil di kawasan perbukitan yang sering digali tanpa pengaman memadai. "Tebing di sekitar lokasi cukup curam. Saat hujan turun, tanah menjadi mudah longsor," jelasnya.
Antara Risiko dan Harapan
Kepala Pelaksana BPBK Aceh Jaya, Ag Suhadi, mengatakan longsor terjadi akibat kondisi tanah labil di kawasan perbukitan yang sering digali tanpa pengaman memadai. "Tebing di sekitar lokasi cukup curam. Saat hujan turun, tanah menjadi mudah longsor," jelasnya.
Ia menuturkan, tiga orang sempat tertimbun, satu meninggal, dua selamat. Jenazah Zaman kemudian dibawa ke rumah duka untuk dimakamkan sore itu juga.
Namun, di balik peristiwa ini tersimpan potret getir kehidupan masyarakat penambang emas tradisional di Aceh Jaya. Mereka bekerja dengan peralatan sederhana, tanpa perlindungan keselamatan yang memadai, demi mencari rezeki dari perut bumi yang tak selalu ramah.
"Tidak ada tambang besar di sini, semua dikerjakan manual. Kalau berhenti, kami tidak ada penghasilan," kata seorang warga lain, Saifullah, yang juga penambang di kawasan itu.
Peringatan dari Alam
Longsor di Blok 20 bukanlah yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan perbukitan Krueng Sabee kerap memakan korban akibat aktivitas tambang rakyat. Namun, kebutuhan ekonomi membuat warga tetap kembali ke lokasi yang sama, meski nyawa menjadi taruhan.
Peringatan dari Alam
Longsor di Blok 20 bukanlah yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan perbukitan Krueng Sabee kerap memakan korban akibat aktivitas tambang rakyat. Namun, kebutuhan ekonomi membuat warga tetap kembali ke lokasi yang sama, meski nyawa menjadi taruhan.
Pemerintah daerah melalui BPBK Aceh Jaya mengimbau agar aktivitas tambang rakyat dihentikan sementara, terutama di area rawan longsor. Tapi bagi sebagian warga, imbauan itu sulit dijalankan.
"Kalau tidak ke tambang, mau makan apa anak-anak," ucap Saifullah pelan, menatap ke arah bukit yang kini sunyi.
Menjelang sore, jenazah Zaman dibawa pulang ke kampungnya di Pasie Teube. Isak tangis keluarga menyambut kedatangan almarhum di halaman rumah sederhana. Di antara pelukan dan doa, warga menyalakan lampu-lampu minyak, menerangi malam duka yang menyelimuti kampung pesisir itu.
Longsor di Bukit Panggong menjadi pengingat betapa rapuhnya batas antara perjuangan dan bahaya dalam kehidupan para penambang tradisional. Emas yang mereka cari, sering kali justru menuntut harga paling mahal — nyawa.
Namun bagi keluarga Zaman dan para penambang lain, harapan tetap hidup. Mereka percaya, rezeki tak akan datang dari tanah yang menelan, melainkan dari tangan-tangan yang bersabar dan berdoa di bawah langit Aceh yang kini kembali mendung. []
