BREAKING NEWS

DPRA Bahas Raqan Transmigrasi: Menuju Pemerataan Ekonomi Berbasis Kearifan dan Kekhususan Aceh

BANDA ACEH - Suasana ruang rapat Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di Banda Aceh, Selasa (21/10/2025), siang itu terasa serius namun terbuka. Para anggota dewan, akademisi, perwakilan lembaga, dan pejabat teknis duduk melingkar, membahas satu rancangan penting, Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.

Agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tersebut digelar untuk menjaring masukan dari berbagai pihak dalam penyempurnaan draf qanun yang akan menjadi dasar hukum penyelenggaraan transmigrasi di Aceh.

"Ketransmigrasian di Aceh bukan sekadar perpindahan penduduk, tetapi bagian dari pembangunan wilayah dan pemerataan ekonomi berbasis keislaman, adat, dan kelestarian perdamaian," ujar Rijaluddin, Ketua Komisi V DPRA, dalam pembukaan rapat.

Rijaluddin menegaskan, kebijakan transmigrasi Aceh harus sejalan dengan kekhususan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Artinya, konsep transmigrasi di Aceh tidak hanya berorientasi pada pemindahan penduduk, tetapi juga pemulihan sosial ekonomi pascakonflik dan penguatan perdamaian berbasis kearifan lokal.

Raqan ini juga menjadi tindak lanjut amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009, sekaligus pelaksanaan otonomi khusus Aceh yang memberi ruang besar bagi daerah dalam merancang kebijakan pembangunan wilayahnya sendiri.

Isi Pokok Raqan Transmigrasi Aceh

Beberapa ketentuan utama yang diatur dalam rancangan qanun ini antara lain:
Transmigrasi sebagai urusan pemerintahan pilihan yang disesuaikan dengan kekhususan Aceh.
Transmigrasi Lokal Aceh (TLA), diprioritaskan bagi fakir miskin, mantan kombatan, korban konflik, dan masyarakat terdampak bencana.
Komposisi penempatan 70% penduduk lokal dan 30% pendatang dari kabupaten/kota lain di Aceh.
Kewenangan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dalam perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan kawasan transmigrasi.
Larangan memperjualbelikan atau memindahtangankan lahan transmigrasi, disertai sanksi administratif bagi pelanggaran.

Selain itu, Raqan menegaskan pentingnya sistem informasi transmigrasi terpadu antara Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah pusat. Pengembangan kawasan transmigrasi juga diarahkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru, terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam forum RDPU tersebut, berbagai masukan mengalir dari peserta. Akademisi dan lembaga swadaya masyarakat menyoroti pentingnya pengelolaan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. Mereka mengingatkan agar kebijakan transmigrasi tidak merusak tata ruang dan tidak mengabaikan hak masyarakat adat.

"Transmigrasi di Aceh harus berpihak pada keseimbangan, antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan serta budaya lokal," ujar salah satu perwakilan LSM lingkungan.

Komisi V DPRA menyambut baik semua masukan yang disampaikan. Seluruh usulan akan menjadi bahan penyempurnaan sebelum dilakukan pembahasan lanjutan bersama Pemerintah Aceh untuk penetapan bersama.

"Kita ingin qanun ini benar-benar menjadi dasar hukum yang berpihak kepada rakyat dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat Aceh," tutup pimpinan Komisi V.

Di ruang rapat yang mulai senyap sore itu, diskusi panjang tentang "perpindahan" justru menjadi simbol kesungguhan Aceh membangun dari akar sendiri, bahwa pembangunan tidak melulu datang dari luar, tetapi tumbuh dari nilai, adat, dan semangat damai yang telah dijaga sejak Helsinki. []
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image