Aceh Kembali ke Meja Perundingan, Sekda dan Forbes DPR/DPD RI Bahas Arah Baru UUPA dan Dana Otsus
0 menit baca
BANDA ACEH - Di sebuah ruang makan yang hangat di Restoran Meuligoe Gubernur Aceh, Senin malam (20/10), percakapan tentang masa depan Aceh mengalir serius di antara piring-piring hidangan. Di meja itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M. Nasir, duduk berdampingan dengan anggota Forbes DPR/DPD RI asal Aceh, para legislator, akademisi, dan tokoh masyarakat. Tema besar mereka: masa depan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh—UUPA—dan nasib Dana Otonomi Khusus (Otsus).
Suasana pertemuan berlangsung hangat, tetapi sarat dengan nada kehati-hatian. Setiap kata yang diucap, seperti diukur dengan neraca, sebab pembahasan UUPA bukan perkara administratif belaka. Ia menyangkut jantung kekhususan Aceh, buah dari perjanjian damai Helsinki yang menutup babak panjang konflik bersenjata dua dekade silam.
Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh yang diketuai T.A. Khalid, bersama Badan Legislasi (Banleg) DPR Aceh, para staf khusus Gubernur, kepala SKPA, hingga sejumlah akademisi dan tokoh masyarakat, berkumpul dengan satu tujuan: menyatukan suara Aceh dalam proses revisi UUPA yang kini sedang berproses di tingkat nasional.
"Pemerintah Aceh sangat menghargai perjuangan Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh, DPR Aceh, para ulama serta seluruh elemen masyarakat yang konsisten memperjuangkan kekhususan Aceh," ujar Sekda M. Nasir dengan nada penuh penghargaan.
Menurutnya, semangat kolektif yang terus menyala menjadi kunci menjaga marwah Aceh di hadapan pemerintah pusat. "Semangat kebersamaan ini menjadi kunci dalam menjaga marwah dan keistimewaan Aceh sesuai MoU Helsinki," tambahnya.
Dalam pembahasan itu, disebutkan ada delapan pasal yang diusulkan untuk direvisi, ditambah satu pasal baru—sembilan keseluruhan. Meski detail pasal belum dibuka ke publik, arah pembahasannya dipastikan mengacu pada dua prinsip utama: menjaga kekhususan Aceh dan menyesuaikannya dengan konstitusi nasional.
Nasir menyebut, pertemuan ini bukan hanya ajang diskusi teknis, tetapi juga momentum konsolidasi moral. "Pertemuan ini menyatukan semangat dan komitmen kita semua untuk terus memperjuangkan UUPA secara konstruktif dan bermartabat," katanya.
Isu revisi UUPA memang kembali mengemuka di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap efektivitas Dana Otsus yang akan berakhir pada 2027. Banyak pihak di Aceh menilai, revisi ini adalah kesempatan untuk menegaskan kembali hak-hak Aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki 2005, namun belum sepenuhnya terimplementasi dalam praktik pemerintahan.
Di tingkat nasional, DPR RI juga telah memulai rangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah tokoh kunci, termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin—dua sosok penting dalam proses perdamaian Aceh.
Sementara di Banda Aceh malam itu, antara suapan kopi dan denting sendok, para tokoh Aceh tampak sepakat: revisi UUPA bukan semata soal pasal-pasal hukum, melainkan tentang menjaga ruh perjanjian damai yang telah mengubah wajah Aceh dua dekade terakhir.
"Yang sedang kita bicarakan ini bukan hanya teks undang-undang," ujar salah seorang peserta rapat lirih, "tetapi juga amanah sejarah." []
Suasana pertemuan berlangsung hangat, tetapi sarat dengan nada kehati-hatian. Setiap kata yang diucap, seperti diukur dengan neraca, sebab pembahasan UUPA bukan perkara administratif belaka. Ia menyangkut jantung kekhususan Aceh, buah dari perjanjian damai Helsinki yang menutup babak panjang konflik bersenjata dua dekade silam.
Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh yang diketuai T.A. Khalid, bersama Badan Legislasi (Banleg) DPR Aceh, para staf khusus Gubernur, kepala SKPA, hingga sejumlah akademisi dan tokoh masyarakat, berkumpul dengan satu tujuan: menyatukan suara Aceh dalam proses revisi UUPA yang kini sedang berproses di tingkat nasional.
"Pemerintah Aceh sangat menghargai perjuangan Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh, DPR Aceh, para ulama serta seluruh elemen masyarakat yang konsisten memperjuangkan kekhususan Aceh," ujar Sekda M. Nasir dengan nada penuh penghargaan.
Menurutnya, semangat kolektif yang terus menyala menjadi kunci menjaga marwah Aceh di hadapan pemerintah pusat. "Semangat kebersamaan ini menjadi kunci dalam menjaga marwah dan keistimewaan Aceh sesuai MoU Helsinki," tambahnya.
Dalam pembahasan itu, disebutkan ada delapan pasal yang diusulkan untuk direvisi, ditambah satu pasal baru—sembilan keseluruhan. Meski detail pasal belum dibuka ke publik, arah pembahasannya dipastikan mengacu pada dua prinsip utama: menjaga kekhususan Aceh dan menyesuaikannya dengan konstitusi nasional.
Nasir menyebut, pertemuan ini bukan hanya ajang diskusi teknis, tetapi juga momentum konsolidasi moral. "Pertemuan ini menyatukan semangat dan komitmen kita semua untuk terus memperjuangkan UUPA secara konstruktif dan bermartabat," katanya.
Isu revisi UUPA memang kembali mengemuka di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap efektivitas Dana Otsus yang akan berakhir pada 2027. Banyak pihak di Aceh menilai, revisi ini adalah kesempatan untuk menegaskan kembali hak-hak Aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki 2005, namun belum sepenuhnya terimplementasi dalam praktik pemerintahan.
Di tingkat nasional, DPR RI juga telah memulai rangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah tokoh kunci, termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin—dua sosok penting dalam proses perdamaian Aceh.
Sementara di Banda Aceh malam itu, antara suapan kopi dan denting sendok, para tokoh Aceh tampak sepakat: revisi UUPA bukan semata soal pasal-pasal hukum, melainkan tentang menjaga ruh perjanjian damai yang telah mengubah wajah Aceh dua dekade terakhir.
"Yang sedang kita bicarakan ini bukan hanya teks undang-undang," ujar salah seorang peserta rapat lirih, "tetapi juga amanah sejarah." []
