MaTA: Tuntutan JPU Kasus Penganiayaan Jurnalis oleh Kades Terlalu Lunak dan Tidak Berpihak pada Keadilan

BANDA ACEH- Lembaga Swadaya Masyarakat Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengkritik keras tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pidie Jaya dalam kasus penganiayaan terhadap jurnalis CNN Indonesia TV, Ismail M Adam alias Ismed. Terdakwa, Iskandar-mantan Keuchik Gampong Cot Seutui, Kecamatan Ulim, Pidie Jaya-hanya dituntut enam bulan penjara, jauh dari harapan publik terhadap penegakan keadilan dan perlindungan terhadap kerja jurnalistik.

Koordinator MaTA, Alfian, menilai tuntutan ini sangat mencederai rasa keadilan, bahkan tidak menunjukkan keberpihakan terhadap korban, apalagi terhadap upaya menjaga kebebasan pers di Aceh. "Ini bukan hanya lunak, tapi mencerminkan kegagalan JPU dalam membaca sensitivitas publik terhadap kekerasan terhadap jurnalis," tegas Alfian, Rabu, 16 April 2025.

Dalam pandangan MaTA, semestinya JPU menuntut hukuman yang lebih proporsional, minimal setengah dari ancaman maksimal Pasal 351 ayat 1 KUHP yang dikenakan-yakni 2 tahun 8 bulan penjara. Alih-alih bertindak sebagai pelindung korban dan penegak hukum yang adil, JPU justru tampak seolah menjadi pembela terdakwa.

Lebih memprihatinkan, korban mengaku saat berkunjung ke Kejari justru merasa diperlakukan seperti musuh oleh JPU, bukan sebagai mitra dalam menuntut keadilan. "Ini menyesakkan. Seharusnya JPU berdiri sejajar dengan korban, bukan justru terkesan satu barisan dengan pelaku," ujar Alfian dengan nada kecewa.

Kontras dengan sikap JPU yang begitu lunak, kuasa hukum terdakwa, Taufik, justru dengan enteng menyatakan bahwa tuntutan enam bulan itu sudah tepat. Sikap ini, menurut MaTA, memperkuat dugaan bahwa ada ketimpangan serius dalam proses hukum kasus ini-ketimpangan yang melemahkan posisi korban dan mengancam martabat profesi jurnalis.

"Bagaimana mungkin seorang kepala desa yang seharusnya menjadi contoh moral di tengah masyarakat, justru menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis hanya karena pemberitaan? Jika ada kekeliruan dalam pemberitaan, negara punya mekanisme hak jawab. Tapi yang terjadi di sini adalah tindakan brutal dan terencana. Ini bukan emosi sesaat, ini perbuatan yang dirancang," ujar Alfian menambahkan.

Lebih jauh, Alfian menegaskan bahwa tindakan terdakwa bukanlah spontanitas, melainkan sebuah serangan yang dipersiapkan. Terdakwa diketahui datang dari desa Cot Seutui ke desa Sarah Mane, tempat korban berada. Ini menunjukkan ada niat jahat dan perencanaan, yang semestinya menjadi pertimbangan penting dalam penjatuhan hukuman.

Dengan semua kejanggalan ini, MaTA mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meureudu untuk tidak terpengaruh oleh tuntutan yang lemah dari JPU. "Majelis Hakim harus menjadi garda terakhir keadilan dalam kasus ini. Jangan biarkan vonis ringan menjadi preseden buruk yang akan membungkam kebebasan pers di Aceh," pungkas Alfian.(Red)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru