Aku dan Orang-orang yang Merdeka

Oleh: Sulthan Alfaraby (Mahasiswa Fakultas Saintek UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Setelah selesai menulis dua opini yang berjudul: Aktivis Uang Receh dan Seribu Masalah Aceh, kini tangan penulis mulai gatal kembali diakibatkan melihat kondisi-kondisi mentalitas beberapa dari kaum intelijensi yang masih mempunyai mental inlander.

Inlander, sebuah kata yang bermakna ejekan dari penjajah Belanda kepada kaum pribumi, tepatnya orang Indonesia. Memang jika kita melihat 350 tahun masa penjajahan Belanda bisa dikatakan masih detable. Namun yang pastinya Belanda sangat lama menjajah bangsa ini dan pendidikan sejarah juga banyak mengungkapkan hal serupa. 

Belanda adalah yang paling lama menjajah dibandingkan penjajah lainnya semacam Spanyol, Portugis, Inggris dan Jepang. Saking lamanya, sisa-sisa jajahannya masih ada. Mulai dari bangunan, sistem, bahasa, budaya hingga mental. Ya, mental inlander! Mental jajahan! Mental budak! Adalah mental peninggalan penjajah Belanda yang kini mungkin masih menempel dalam benih-benih intelijensi pemuda yang secara bersamaan berkembang dari waktu ke waktu.

Kita harus akui, kemampuan penjajah menciptakan mental inlander ini. Bukan hanya untuk mengeruk kekayaan alam, tapi penjajah terkutuk itu kini juga merusak mental bangsa hingga anak cucu kita sampai sekarang. Akibatnya, hari ini saat mental bangsa sudah jatuh, maka sehebat apapun kita sebagai bangsa Indonesia, selalu akan memiliki keterbelakangan semangat dan tak mampu cepat berkembang. Kita mungkin akan selalu menjadi bangsa terpuruk yang selalu tertinggal jauh beberapa langkah!

Ternyata, mental inlander sampai saat ini masih belum bisa hilang. Dibuktikan dengan apa? Dibuktikan dengan sebagian dari pemuda-pemuda dan aktivis kita yang masih ragu-ragu dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran. Mereka menjadi ragu karena mereka takut ketika diancam dan digertak 'sambal' oleh Birokrat yang sewenang-wenang. Padahal, ancaman-ancaman tersebut mungkin juga tidak berani dilakukan oleh Birokrat yang menindas rakyat. Jika Birokrat nekat, siap-siap untuk terguling. Birokrat yang jahat memang suka menakut-nakuti, seperti cara biadab kolonial dulu yaitu menakut-nakuti, suka membungkam kebenaran dan memanipulasi data yang seolah-olah terlihat benar supaya tidak menimbulkan gejolak rakyat, padahal tidak sesuai fakta di lapangan. Jika kita melihat keadaan sekarang, mungkin sebagian para pemuda dan aktivis sepertinya memang sudah kehilangan taringnya dalam berjuang.

Mungkin, ada yang mengaku aktivis dan belagak jawara di depan junior, tapi ketika berhadapan dengan penguasa atau Birokrat, maka mental inlander dari aktivis semacam ini pun keluar, belum bergerak tapi sudah takut akibat ditakut-takuti penguasa. Buat apa berjuang dan belagak jawara jika masih takut! Begitulah kira-kira kata yang ingin penulis ungkapkan. Hal semacam ini patut untuk kita renungkan, bahwa sulit sekali menghilangkan mental inlander yang mendarah daging. Mental untuk suka menakut-nakuti kaum yang lemah (meniru kolonial) masih ada dalam diri kita, dan ketika berada dihadapan penguasa, maka mental pejuang ini pun terinfeksi oleh penyakit inlander.

Penulis berharap, inlanderisasi dalam jiwa pribumi bisa ditepis oleh kaum-kaum intelijensi. Mereka-mereka adalah tonggak-tonggak arah perubahan bangsa. Jika inlander belum bisa ditepis dan dimusnahkan dalan diri seorang pejuang, maka jangan harap keadilan akan terwujud! Jangan takut untuk menyuarakan keadilan, meskipun kita diasingkan, tapi itu lebih baik daripada tertindas, ingatlah bahwa kamu sedang bersama orang-orang yang ingin merdeka! Soe Hok Gie, si aktivis mahasiswa terkenal itu juga pernah mengatakan dalam buku yang berjudul Catatan Seorang Demonstran: lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan. 

Mungkin hanya ini yang bisa penulis sampaikan, semoga inlanderisasi bisa hilang dalam jiwa-jiwa kaum pergerakan. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat! Panjang umur pergerakan.
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru