JASA: Lembaga Wali Nanggroe Lahir Berkat Darah Orang Tua Kami dan Para Syuhada

LHOKSEUMAWE - Nota kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah konsensus politik yang berakibat hukum dengan diundangkannya Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan lahir peraturan perundang-undangan lain nya amanat dari UUPA.

Proses perjalanan panjang dan berliku yang berdimensi hukum, militer, dan hak asasi manusia (HAM) Konflik yang terjadi di Aceh selama kurun waktu 30 tahun merupakan salah satu konflik berdarah yang berlangsung dalam interval waktu yang relatif lama dengan jatuh korban pejuang syuhada lebih 30 ribu syuhada. 

Menjadikan MoU Helsinki yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 silam, tidak hanya menjadi momentum sosial politik penting bagi Aceh dan Indonesia, juga menjadi perjalanan hukum baru bagi masyarakat Aceh dengan ditetapkannya kewenangan dalam bentuk  Otonomi Khusus (Otsus) yang bersifat Istimewa sesuai UUD 1945 Pasal 18A Ayat(1) dan Pasal B Ayat(1). Akan tetapi UUPA No.11/2006 masih belum disesuaikan dengan Klausul MoU Helsinki dan ini menjadi PR pemerintah Aceh yang menjalankan roda pemerintahan di Aceh.

Lembaga wali Nanggroe tidak bisa dibubarkan, landasan politisnya adalah butir MoU helsinki, sedangkan landasan hukumnya pasal 96 dalam UU No. 11 thn 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Selanjutnya Konstitusi NKRI yaitu pasal 18 B, UUD 1945, mengakui dan menghormati daerah daerah yg bersifat khusus dan istimewa yg diatur dalam UU nya masing-masing, sehingga secara konstitusi dan UU, lembaga wali Nanggroe legal, jadi bila ada beberapa orang menginginkan lembaga wali Nanggroe bubar, orang tersebut salah minum obat atau gagal pemahaman.

Masa jabatan Malik Mahmud Al Haytar sebagai Wali Nangroe Aceh itu sampai akhir hayatnya kenapa di perdebatkan dan di permasalakan hari ini? Bukan kah konsensus politik tersebut membuat rakyat Aceh memiliki kewenangan mengatur dirinya sendiri dengan aturan perundang-undangan yang telah dimiliki? Sudahkah Pemerintah Aceh yang menjalankan seperti yang di amanatkan dalam UUPA No 11/2006? Sudahkah butir-butir MoU dijalankan implemetasinya dalam peraturan perundangan yang berlaku untuk aceh?

Lembaga wali nanggroe selama sepekan ini jadi pemberitaan hangat di Aceh tentang pergantian puncak pimpinan lembaga tersebut atau lebih di kenal dengan wali nanggroe yang di tahtai oleh paduka yang mulia malik mahmud alhaytar.

Keberadaan lembaga itu sangat sakral di aceh sebagai sebuah lembaga yang dilahirkan melalu perjanjian damai MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka 

Akhir-akhir ini muncul wacana untuk segera memproses pergantian wali nanggro karena masa bakti paduka yang mulia malik mahmud alhaytar akan segera berakhir.

PYM Malik Mahmud Al-Haytar itu sebagai Pimpinan Politik dan pejuang GAM selanjutnya menjadi tokoh Partai Aceh kemudian diangkat menjadi Wali Nanggroe Aceh ke-9 (dan yang pertama dalam konstitusi negara RI) itu diganti jika beliau (Malik Mahmud Al-Haytar) sudah mangkat.

Namun yang lebih parah dari issu mengenai wali nanggro adalah adanya pemikiran yang ingin lembaga wali nanggroe di hapuskan saja, kata Murhalim S.Pd, sebagai Advokasi dan hukum jaringan aneuk syuhada aceh (JASA). 

Murhalim menilai pemikiran untuk meniadakan lembaga wali nanggroe adalah upaya yang bodoh dan ada upaya penghapusan sejarah aceh yang menjadi indentitas Rakyat aceh dan sangat di hormati . Lembaga jaringan aneuk syuhada aceh (JASA) adalah lembaga yang dinaungi oleh anak-anak mantan kombatan GAM yang gugur era konflik yang berkepanjangan.

"Menurut kami, Orang-orang yang sepakat menghilangkan lembaga wali nanggroe adalah orang yang menghilangkan identitas dirinya sendiri, orang yang menghancurkan dan mengkhianati bangsa Aceh.
Gazali Abbas jangan menjadi Pengkhianat rakyat aceh dengan mengatakan Lembaga wali naggroe tidak penting," ujarnya.

"Lembaga wali naggroe itu lahir berkat darah orang tua kami dan para syuhada yang telah berjuang mati matian untuk Aceh. Lembaga Itu bukan Kepentingan Pribadi Malek mahmud Alhaytar tetapi kepentingan dan marwah rakyat Aceh itu sendiri," tutup murhalim. (Rel)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru