Mengelola 1.630 Sumur Minyak Rakyat, Jalan Panjang Menuju Kesejahteraan Aceh

BANDA ACEH – Senin pagi, 22 September 2025, layar-layar Zoom di Ruang Rapat Sekda Aceh menampilkan wajah-wajah pejabat kunci. Dari Asisten II, Kepala Dinas ESDM, Wakil Kepala BPMA, hingga perwakilan kabupaten. Di tengah layar, Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, S.IP, MPA, memimpin jalannya rapat dengan satu tujuan: bagaimana menjadikan 1.630 sumur minyak rakyat sebagai berkah, bukan beban.

Potensi itu bukan angka kecil. Ribuan sumur minyak masyarakat yang tersebar di Aceh merupakan aset energi yang jika dikelola dengan benar, bisa menjadi sumber pendapatan dan kesejahteraan warga. Namun, hingga kini pengelolaannya masih terjebak di antara regulasi, keterbatasan data, dan minimnya tata kelola profesional.

"Jika 1.630 sumur yang ada ini dikelola secara profesional dan terukur, tidak butuh waktu lama bagi masyarakat Aceh untuk makmur," tegas M. Nasir dalam forum tersebut. Ucapannya menjadi gambaran harapan besar sekaligus tantangan berat bagi Aceh.

Rapat itu difokuskan pada percepatan pemenuhan persyaratan agar sumur-sumur minyak rakyat segera ditetapkan secara resmi. Langkah ini penting, sebab tanpa payung hukum dan mekanisme yang jelas, potensi justru bisa berubah menjadi masalah: mulai dari kebocoran produksi, kerusakan lingkungan, hingga praktik ilegal yang merugikan negara dan rakyat.

Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufik, ST, M.Si, menekankan urgensi peran kabupaten. Menurutnya, pemerintah daerah harus segera mengirimkan data, khususnya titik koordinat sumur, agar bisa menjadi dasar penetapan oleh Kementerian ESDM. "Tanpa data yang lengkap, proses ini akan terus tertunda. Padahal masyarakat menunggu kepastian," ujarnya.

Di balik rapat formal itu, ada fakta yang tak bisa diabaikan. Selama ini, banyak masyarakat menggantungkan hidup dari sumur minyak tradisional. Mereka bekerja dengan cara seadanya, sering kali tanpa perlindungan hukum, tanpa kepastian harga, bahkan rawan terjerat praktik perantara yang lebih menguntungkan pihak luar ketimbang warga lokal.

Jika pemerintah serius, legalisasi dan penataan sumur minyak rakyat bisa menjadi terobosan politik-ekonomi. Ia tidak hanya memperkuat ketahanan energi Aceh, tetapi juga membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan kata lain, minyak rakyat bukan lagi persoalan "aktivitas tradisional" semata, melainkan agenda pembangunan strategis.

Namun, jalan menuju itu tidak mudah. Butuh komitmen politik, koordinasi lintas sektor, dan transparansi. Tanpa itu, sumur-sumur rakyat berisiko kembali dipinggirkan oleh kepentingan besar, sementara masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Momentum rapat yang dipimpin Sekda Aceh ini seakan memberi sinyal, bahwa pemerintah mulai menyadari pentingnya keberpihakan nyata. Di era otonomi khusus, rakyat berharap pengelolaan sumber daya alam tidak lagi hanya melahirkan angka di atas kertas, melainkan benar-benar dirasakan hingga ke dapur-dapur warga.

"Sumur minyak rakyat adalah energi kemandirian Aceh. Kalau dikelola dengan benar, ia bisa menjadi tonggak sejarah baru," ujar seorang peserta rapat dari kalangan biro ekonomi, menyiratkan optimisme.

Kini bola ada di tangan pemerintah. Apakah 1.630 sumur minyak rakyat itu akan benar-benar menjadi jalan menuju kemakmuran, atau hanya sekadar janji politik yang tertahan dalam dokumen rapat virtual? Jawabannya akan ditentukan oleh konsistensi eksekusi, bukan hanya wacana.
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru