Adv
Dinkes Acut
Kolaborasi Gampong dan Puskesmas, Kunci Sukses STBM di Aceh Utara
ACEH UTARA – Suara gemericik air bersih dari kran yang mengalir di sudut halaman rumah-rumah warga Gampong Alue Leuhob, Kecamatan Cot Girek, menjadi simbol kecil dari perubahan besar yang sedang berlangsung di banyak pelosok Aceh Utara. Perubahan itu datang melalui gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang kini menjadi gerakan bersama antara masyarakat gampong dan jajaran kesehatan, khususnya puskesmas.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara, Jalaluddin, SKM, M.Kes., kunci keberhasilan STBM tidak terletak semata pada pembangunan fisik seperti jamban atau saluran air bersih. Lebih dari itu, kekuatan utama STBM adalah kolaborasi yang erat antara masyarakat gampong dan tenaga kesehatan di puskesmas.
“STBM bukan sekadar program teknis, tapi gerakan perubahan perilaku. Dan perubahan itu hanya mungkin terjadi jika masyarakat dilibatkan sejak awal. Di Aceh Utara, kami melihat puskesmas tidak hanya sebagai pemberi layanan kesehatan, tapi juga sebagai fasilitator perubahan di tingkat desa,” ujar Jalaluddin di ruang kerjanya, belum lama ini.
Lima Pilar STBM: Dari Sosialisasi ke Aksi Nyata
Program STBM yang digagas Kementerian Kesehatan RI memiliki lima pilar utama: (1) stop buang air besar sembarangan, (2) cuci tangan pakai sabun, (3) pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, (4) pengelolaan sampah rumah tangga, dan (5) pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Di Aceh Utara, program ini telah menyatu dengan kehidupan masyarakat desa melalui pendekatan partisipatif. Jalaluddin menyebutkan, pihak puskesmas berperan penting dalam melakukan pemicuan—sebuah metode pendekatan yang mengajak warga menyadari kondisi lingkungannya dan memotivasi mereka untuk melakukan perubahan secara mandiri.
“Tenaga kesehatan di puskesmas kita latih menjadi fasilitator pemicuan. Mereka masuk ke gampong, berdiskusi, memancing kesadaran masyarakat. Setelah itu, aparatur gampong yang bergerak memimpin warganya untuk membuat perubahan,” katanya.
Keberhasilan STBM di Aceh Utara juga ditentukan oleh peran keuchik dan perangkat gampong dalam menyelaraskan program ini dengan pembangunan desa. Beberapa gampong bahkan mengalokasikan Dana Desa untuk mendukung pembuatan jamban sehat dan pembangunan sarana cuci tangan.
“Tanpa komitmen keuchik dan aparatur desa, program ini akan berjalan lambat. Karena itu kami selalu melibatkan mereka dalam perencanaan, sosialisasi, hingga evaluasi kegiatan STBM,” jelas Jalaluddin.
Kolaborasi ini diperkuat pula dengan pendekatan lintas sektor—mulai dari TP-PKK, tokoh agama, hingga sekolah-sekolah. Semua bergerak dalam satu irama untuk menciptakan lingkungan sehat yang berkelanjutan.
Aceh Utara Menuju Kabupaten STBM
Hasil kolaborasi ini telah terlihat. Seluruh gampong di Kabupaten Aceh Utara telah mendeklarasikan diri sebagai gampong Open Defecation Free (ODF)—artinya seluruh warganya tidak lagi buang air besar sembarangan. Dinas Kesehatan Aceh Utara mencatat, hingga pertengahan 2025, sudah 100% desa yang mencapai status ODF, dan juga telah memenuhi pilar-pilar STBM lainnya.
“Target kami, Aceh Utara bisa menjadi kabupaten STBM berkelanjutan. Ini tidak mudah, tapi dengan kolaborasi gampong dan puskesmas, serta dukungan dari semua pihak, saya optimis kita bisa mencapainya,” tegas Jalaluddin.
Edukasi sebagai Gerakan Sosial
Lebih dari sekadar program kesehatan, STBM telah menjelma menjadi gerakan sosial yang membentuk kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya hidup bersih dan sehat. Kegiatan seperti lomba PHBS antar RT, pelatihan pembuatan sabun cuci tangan alami, hingga festival gampong sehat kini rutin digelar di berbagai kecamatan. Semua ini menjadi ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif sekaligus merayakan hasil kerja keras mereka menjaga sanitasi.
“STBM bukan proyek. Ini adalah gerakan hidup sehat yang berawal dari desa dan akan menjadi budaya masyarakat Aceh Utara,” pungkas Jalaluddin penuh keyakinan.
Dengan semangat kolaborasi dan gotong royong, Aceh Utara membuktikan bahwa perubahan besar bisa lahir dari desa-desa kecil—asal ada kemauan, kesadaran, dan kerja bersama.
Konsistensi monitoring dan pendampingan menjadi bagian penting dalam menjaga keberlanjutan program STBM. Dinas Kesehatan melalui puskesmas rutin melakukan supervisi dan evaluasi ke desa-desa binaan. Dalam proses ini, tidak hanya data yang dikumpulkan, tapi juga dilakukan dialog langsung dengan masyarakat untuk mendengar tantangan dan inovasi lokal yang muncul.
“Kadang kami justru belajar dari desa. Ada banyak inisiatif menarik yang tumbuh dari bawah, seperti pemanfaatan limbah organik menjadi kompos atau program bank sampah berbasis dusun,” ungkap Jalaluddin.
Ke depan, Dinas Kesehatan Aceh Utara akan memperkuat kapasitas kader kesehatan lingkungan dan memperluas jejaring mitra dalam pelaksanaan STBM. Jalaluddin menuturkan, pelibatan generasi muda juga menjadi fokus karena mereka adalah agen perubahan masa depan. “Kami ingin menanamkan nilai-nilai sanitasi sejak usia dini. Itu sebabnya sekolah-sekolah juga kami rangkul. Bila sekolah sehat, rumah sehat, maka desa pun sehat,” ujarnya.
Semangat kolaboratif ini menjadi pondasi kuat bagi Aceh Utara untuk terus maju sebagai kabupaten yang peduli dan tangguh dalam membangun kesehatan dari akar rumput. [Adv]
Via
Adv