Banda Aceh
Blok Migas Masih Dikelola SKK Migas, YARA: Aceh Dirugikan Triliunan Rupiah
BANDA ACEH- Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menilai pemerintah pusat telah mengabaikan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Hal ini dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional daerah, yang berdampak pada kerugian finansial hingga triliunan rupiah bagi Aceh.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua YARA, Safaruddin, dalam konferensi pers yang digelar di Banda Aceh, Rabu (18/6/2025) sore. Ia didampingi oleh Kepala Perwakilan YARA Kota Banda Aceh, Yuni Eko Hariatna—yang akrab disapa Haji Embong.
Safaruddin mengungkapkan bahwa sejumlah blok migas di Aceh, di antaranya Kuala Simpang Barat, Kuala Simpang Timur, dan Rantau Perlak, hingga kini masih dikelola oleh PT Pertamina EP dan SKK Migas. Padahal, sesuai Pasal 90 PP 23/2015, seluruh hak dan kewajiban kontrak kerja sama migas di wilayah Aceh seharusnya telah dialihkan kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
"Ketidakterlibatan penuh BPMA dalam pengelolaan blok-blok tersebut menyebabkan Pemerintah Aceh tidak memiliki akses terhadap data riil pendapatan migas yang menjadi hak daerah," ujar Safaruddin.
Ia merinci, berdasarkan informasi dari Field Manager Pertamina EP Rantau Field, produksi migas di Blok Aceh Tamiang saja mencapai 2.500 barel per hari atau sekitar 900.000 barel per tahun. Dengan asumsi harga minyak saat ini sebesar 76 dolar AS per barel dan nilai tukar Rp18.187 per dolar, potensi pendapatan kotor dari blok tersebut mencapai Rp888,6 miliar per tahun. Jika ditarik selama periode 2015–2025, potensi pendapatan Aceh yang tidak tersalurkan dapat mencapai Rp4,7 triliun.
Kesepakatan yang Diabaikan
Persoalan ini sejatinya telah digugat secara hukum pada tahun 2021 oleh anggota DPRA, Asrizal H. Asnawi, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Perkara No. 338/Pdt.G/2021/Jkt.Pst), dengan turut menggugat Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, dan BPMA. Gugatan tersebut berakhir dengan kesepakatan bersama untuk menjalankan ketentuan Pasal 90 PP 23/2015.
Namun, menurut YARA, kesepakatan itu tidak diimplementasikan. Permintaan informasi atas perkembangan pelaksanaan kesepakatan pun tidak mendapat tanggapan dari pihak terkait.
Pada Maret 2023, gugatan serupa kembali diajukan oleh Kepala YARA Aceh Tamiang, Samsul Bahri, dan Kepala YARA Aceh Timur, Indra Kusmeran. Di tengah proses persidangan, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengeluarkan surat pada 26 Mei 2023 yang mengalihkan sebagian wilayah kerja Pertamina EP di Aceh kepada BPMA.
Surat tersebut menetapkan bahwa pengelolaan wilayah hasil carved out akan diserahkan kepada afiliasi Pertamina EP, yakni PT Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam, dengan masa kontrak 17 September 2025 hingga 16 September 2035. Namun terdapat syarat tambahan, yakni tidak diperkenankan ada beban kewajiban baru terhadap perusahaan afiliasi tersebut.
Proses Mandek di Meja Menteri
Menindaklanjuti surat Menteri ESDM, telah disusun dokumen "term and condition" antara Pertamina EP, SKK Migas, dan BPMA. Dokumen ini telah disetujui oleh Penjabat Gubernur Aceh, Safrizal ZA, pada 30 Oktober 2024.
Meski demikian, hingga kini Keputusan Menteri ESDM yang menjadi dasar hukum kontrak baru tersebut belum kunjung diterbitkan. Akibatnya, pengelolaan Blok Migas di wilayah Aceh Tamiang dan Aceh Timur masih tetap berada di bawah kendali SKK Migas dan Pertamina EP.
"Kami menilai ini sebagai bentuk kelalaian yang disengaja dan sangat merugikan Aceh. Kondisi ini serupa dengan kasus empat pulau di Aceh yang nyaris terlepas dari wilayah NKRI, sebelum diselamatkan dengan penuh kebijaksanaan oleh Presiden," tutup Safaruddin.(Red)
Via
Banda Aceh