Putusan Peradilan Adat di Aceh, Pelaksanaan dan Sanksinya

 Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, Tgk Yusdedi. [Ilustrasi]

Banda Aceh – Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh dan juga MAA Kabupaten/Kota saat ini terus menekankan penyelesaiaan sengketa adat dan perkara ringan di masyarakat melalui mekanisme peradilan Adat. 

Hal ini dilakukan sebagai upaya mengimplementasikan Undang-Udang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat, serta Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.

Selain itu juga ada MoU atau keputusan Bersama antara Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, dan Ketua MAA Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat, serta lahirnya Pergub Nomor 60 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat. 

Ketua Majelis Adat Aceh Tgk Yusdedi mengatakan Putusan Peradilan Adat merupakan hasil keputusan musyawarah dalam rangka mencari solusi serta kedamaian di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini, kata Yusdedi, selaras dengan ajaran agama Islam yang menghendaki perdamaian diantara sesama umat manusia.

"Penyelesaian sengketa melalui Peradilan Adat bukan hanya mengimplementasikan aturan yang sudah ada di Aceh, juga mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam yang menghendaki penyelesaian setiap masalah secara musyawarah dan perdamaian," ujar Yusdedi, saat dimintai tanggapan oleh awak media, baru-baru ini.

Lebih lanjut, kata Yusdedi, Keputusan Peradilan Adat juga ada sanksi-sanksinya berupa sanksi ringan sampai dengan sanksi yang paling berat, yakni dikeluarkan dari gampong (desa). Sanski ini ini akan diberikan ketika pihak yang bersengketa menyalahi aturan adat yang berlaku.

"Pada saat mencapai satu keputusan perlu digaris bawahi bahwa kedua belah pihak wajib menyetujui secara bebas dan mandiri sanksi atau hukuman yang akan diberikan," ungkapnya.

"Ada beberapa contoh hukuman atau sanksi yang berlaku dalam hukum adat, sebagaimana tertulis dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, diantaranya, nasehat, teguran pernyataan maaf, sayam, diyat, denda, ganti kerugian dikucilkan oleh masyarakat gampong, dikeluarkan dari gampong, pencabutan gelar yang melekat, serta bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat setempat," ungkapnya.

Dalam pelaksanaan sanksi adat sangat, lanjut Yusdedi, sangat bervariatif, dimana pelaksanaan sanksi adat akan segera dilaksanakan setelah putusan disampaikan oleh kepala gampong (Keuchik), terutama terhadap sanksi adat yang berupa nasehat, peringatan dan permintaan maaf. 

Untuk sanksi ganti rugi pelaksanaan putusannya lebih longgar yaitu, tergantung kepada kemampuan ekonomi pelanggar untuk menyediakan ganti rugi tersebut. Demikian juga, dalam hal sanksi adat yang berupa pengusiran dari gampong, namun pelaksanaannya tidak dilakukan segera setelah putusan tersebut, melainkan kepada pelanggar norma adat itu akan diberikan waktu secukupnya untuk bersiap-siap meninggalkan gampong tersebut.

Putusan wajib tertulis dimana pemantauan terhadap putusan tersebut akan lebih mudah diawasi. Salinan putusan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan (para pihak sengketa), lembaga mukim dan pihak kepolisian setempat. 

"Hal ini dilakukan bertujuan agar mereka mengetahui bahwa suatu perkara telah diselesaikan di tingkat peradilan gampong. Keputusan tertulis tersebut akan menjadi bukti penting dalam penentuan perkara, apabila dikemudian hari akan dimintakan banding," ungkapnya.

"Setelah putusan didokumentasikan, termasuk penandatanganan oleh semua pihak, setiap detail dan data kasus yang ditangani harus dicatat dalam buku Induk Registrasi Kasus," demikian terang Yusdedi.

Untuk diketahui, Peradilan Adat merupakan peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. [Adv]
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru