Komentari Referendum, Aryos Nivada: Ketua Ombudsman RI Aceh Cari Panggung

BANDA ACEH - Ombudsman bukan toko serba ada (Toserba) yang mengomentari isu apa saja yang terlontar di ruang publik. Hal ini disampaikan Akademisi Fisip Unsyiah Aryos Nivada mengkritisi Ketua Ombudsman RI Wilayah Aceh, Taqwaddin Husin, yang ikut-ikutan mengomentari soal referendum yang dilontarkan Ketua Partai Aceh Muzakir Manaf belum lama ini, di Banda Aceh.

Menurut Aryos, Ombudsman dibentuk untuk mengawasi pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan badan swasta atau pelayanan perseorangan, yang melibatkan angaran negara. Ombudsman mesti fokus pada isu-isu pelayanan publik yang dikeluhkan masyarakat, seperti pelayanan mudik Idul Fitri saat ini.

"Ombudsman fokus saja pada pelayanan publik, bukan isu politik, seperti referendum yang dilontarkan secara prematur itu," tegas Pengamat Politik dan Keamanan itu, Sabtu (1/6/2019).

Menurut pria berkacamata minus itu, di tangan Taqwaddin Husin Ombudsman belakangan ini terkesan di mata publik sudah laksana LSM yang kehilangan panggung. Padahal Ombudsman, lanjutnya, tak perlu cari panggung lagi. Ia lembaga negara yang ditugaskan menangani keluhan masyarakat.

Beberapa waktu lalu, misalnya,  Taqwaddin Husin mendorong korban kecelakaan yang jatuh dari Jembatan, Pango, Banda Aceh, agar menuntut Pemerintah Aceh. Sebab, menurut Taqwaddin Pemerintah Aceh lalai memasang rambu-rambu pada marka jalan di atas jembatan itu.

Seharusnya Taqwaddin melakukan tindakan pencegahan sebelum ada korban yang terjatuh dari atas jembatan itu. Apalagi posisi jembatan Panggo itu jaraknya cuma beberapa meter dari Kantor Ombudsman RI Wilayah Aceh itu.

"Bila Taqwaddin care, ia bisa bertindak sebelum jatuh korban karena pulang dan pergi melewati Jembatan Pango itu juga," kata Aryos heran.

Menyangkut referendum, Taqwaddin selaku pakar hukum pasti mengetahui tidak ada lagi perangkat regulasi yang dapat memayungi wacana konon lagi implementasinya di Indonesia. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1985 yang menyediakan ruang referendum di Indonesia telah tercabut dengan diberlakukannya UU Nomor 06 Tahun 1999. Begitu juga dalam naskah perjanjian damai RI dengan GAM, MoU Helsinki, tidak memberi ruang dilaksanakannya referendum di Aceh.

Jadi, kata Aryos, ketika Taqwaddin meminta pemerintah agar Pemerintah Pusat jangan merespon secara berlebihan apalagi disertai ancaman, memberi kesan ia mendapat "panggung" dari isu referendum tersebut dan ingin mencari muka, baik dari  pemerintah pusat maupun dari rakyat Aceh.

"Tak selayaknya wacana referendum dijadikan panggung bagi seorang Taqwaddin, yang notabene Ketua Ombudsman RI Wilayah Aceh," tutup peneliti Jaringan Survey Initiatif Aceh. (*)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru