M Jamil Daud: Lembaga Wali Nanggroe Sudah Ada Sejak Kesultanan Aceh

BIREUEN - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen, Drs M. Jamil Daud, mengungkapkan terkait keberadaan Lembaga Wali Nanggroe perlu kita ketahui bersama yang bahwasanya Lembaga itu Sudah Ada semenjak Kesultanan Aceh, hilang dan muncul kembali setelah ada tuntutan Masyarakat Aceh.

Hal ini, diungkapkan Anggota DPRK Bireueun, Drs M. Jamil Daud kepada Atjeh Net, Rabu (14/11/2018), yang menyebutkan, Lembaga Wali Nanggroe sudah ada sejak Kesultanan Aceh. Kemudian hilang dan muncul Kembali setelah tuntutan masyarakat Aceh.

Terkait Pro kontrak, wacana pembubaran Lembaga Wali Nanggroe mencuat ke permukaan publik maka kita bersama perlu mengkaji kembali hak kekususan Aceh. dan Marwah bangsa ini mau dikemanakan, sebut M Jamil Daud yang sering disapa Abah Jamil.

"lanjut Abah Jamil, "seiring rencana pemilihan Wali Nanggroe yang baru menggantikan Malik Mahmud Alhaythar karena jabatannya sebagai Wali Nanggroe segera berakhir.

Malik Mahmud dilantik sebagai Wali Nanggroe pada 16 Desember 2013, artinya jika merujuk pada Qanun Nomor 8 Tahun 2012 yang sudah dikoreksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tersebut, masa jabatannya berakhir pada 16 Desember 2018.

Namun, rencana pemilihan Wali Nanggroe itu justru kemudia berkembang menjadi wacanapeniadaan lembaga yang diatur dalam Qanun tersebut.

Sebagian warga berpendapat, Lembaga Wali Nanggroe tidak jelas fungsinya, tidak  ada manfaatnya dan hanya menghabiskan anggaran semata serta membebani rakyat.

Namun, sebagaian lainnya, Lembaga Wali Nanggroe perlu dipertahankan karena itu merupakan kearifan lokal, hak khusus Aceh.

" M Jamil Daud Anggota DPRK Bireuen tersebut meminta kepada segenap lapisan Masyarakat Aceh, Jadi nyan bek salah jeb ubat, jangan salah minum obat, jika meniadakan Lembaga Wali Nanggroe. Karena, selain tuntutan masyarakat Aceh, Lembaga inipun juga dituangkan dalam MOU Helsinki serta diimplementasikan dalam UU NO.11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh," jelas politisi dari PAN itu.

Meniadakan Lembaga ini, lanjutnya, sama dengan melemahkan pointer-pointer terpenting tuntutan masyarakat Aceh, sekaligus mengkerdilkan hak- hak khusus (kearifan lokal) Aceh.

Sebagaimana diketahui, dalam UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) vide poin 1.1.7, MoU Helsinki adalah Qanun tentang Lembaga Wali Nanggroe (LWN).

Sebagaimana Pasal 96 ayat (4) disebutkan: "Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tatacara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh,"Tegas M Jamil Daud.(MS)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru