[Opini] Potensi Konflik SARA Menjelang Tahun Politik 2018

SARA dalam Konstelasi Demokrasi
Indonesia merupakan negeri yang multi suku, agama, dan ras, sehingga isu SARA sering menyertai artikulasi politik di berbagai tempat. Bila melihat sosio-historis maka penyertaan isu sara dalam konstelasi politik di Indonesia tidak bisa dihindarkan. Akan tetapi, perlunya penempatan dalam koridor keadaban demokrasi. 

Tentu jika melihat dari structural-cultural Indonesia yang memiliki keberagaman, maka momen politik kepemiluan (electoral) akan diwarnai oleh mobilisasi sentiment SARA yang diluapkan secara massif ke ruang publik. Jelas ini memperlihatkan bahwa ruang publik kita sangat sarat akan isu SARA terutama agama. 

Bagaimanapun, religiusitas merupakan hal yang mutlak dan tidak bisa dilepaskan dari konteks kemasyarakatan kita, terutama ruang publik. Namun dalam hubungan ruang publik sebagai kontes politik, unsur keagamaan dapat berarti dua sisi, sebagai perekat solidaritas dan sekaligus pemecah belah. Memang, sejarah politik di Indonesia modern hampir tak pernah lepas dari isu SARA. 

Isu tersebut, biasanya muncul ketika dimensi ruang publik sebagai ajang kontes gagasan dan program tidak berjalan semestinya. Juga ketika partai peserta pemilu tidak lagi mengedepankan visi misi dan terobosan tapi sebatas pengejaran terhadap kemenangan belaka. Isu agama dan etnis muncul ketika para kandidat dan pendukung lebih mementingkan penggapaian kekuasaan semata dibandingkan hal dasar yang harus diperjuangkan.

Menurut Habermas (1991), ruang publik pada dasarnya dibentuk oleh bangunan dialog yang egaliter dengan mengacu pada prinsip bahwa ruang publik bersifat komunikasi dua arah. Itu artinya, agenda setting isu oleh media sejalan dengan apa yang sedang diungkapkan publik sebagai kegelisahanya. Tetapi, dihembuskanya Isu SARA sebagai alat yang digunakan dalam perebutan ruang publik untuk meyakinkan pemilih membuktikan bahwa ruang publik mulai cenderung tidak egaliter. 

Hembusan terus-menerus akan berdampak pada tertekanya psikologis masyarakat dan memunculkan kekhawatiran dan keresahan baru, seolah-olah membenarkan narasi politik dengan berdasar pada isu SARA. Dan upaya abusif dengan kedok soliditas keagamaan dan etnisitas dalam suatu titik akumulasi akan berpotensi menciptakan ledakan sosial dan serta merta masuk dalam fase kampanye hitam. 

Karena penggunaan isu SARA seperti membuat suatu agitasi yang menyulut sentimen dan sisi emosional sebagian masyarakat. akibatnya, hasutan dan ujaran kebencian itu yang pada akhirnya membuat pemilih  menjadi irrasional malah cenderung Kampanye hitam pada dunia politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum. Kampanya hitam dapat dilakukan melalui berbagai media. 

Media elektronik, media cetak dan internet. Termasuk situs berita dan situs situs baru yang tiba tiba muncul dengan nama domain yang provokati dan tentunya tidak kredibel. Ada agenda tertentu dibalik meluasnya keresahan didasari sentimen dan hasutan, dengan harapan bahwa kelompok tertentu akan memetik keuntungan politik. 

Meski kita tahu bahwa tidak mudah mengkapitalisir sentimen keagamaan dan etnisitas demi politisasi atau keuntungan elektoral belaka. Argumentasi logisnya karena masyarakat kita sebenarnya sudah sangat rasional dan cukup dewasa menyikapi hembusan SARA terutama dalam ajang politik.

Isu SARA kembali mencuat dan menjadi instrumen bagi partai untuk merebut simpati masyarakat  di tengah situasi kalut dan carut marut politik, ekonomi dan sosial yang ada. Hal itu kemudian, juga mengafirmasi kecenderungan partai yang sedang mengalami minimumnya figur, agenda, peran dan fungsi ideologi. 

Defisit inilah yang membuat ruang publik menjadi korban, dan turut memfasilitasi ajang kampanye hitam dengan mengakumulasi bahasan-bahasan provokatif, tendensius, saling serang, termasuk isu SARA. Padahal masyarakat sudah jengah.

Isu SARA yang kembali muncul jelang pilkada 2018 dan pemilu tahun 2019, akan muncul lebih pada alasan tidak adanya visi misi yang jelas dari para peserta kontestan politik. Faktor penyebab yang lainnya adalah tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan masalah yang ada. 

Pada akhirnya, isu SARA itu hanya membakar emosional yang berakibat timbul konflik. Jika peserta konstelasi pilkada maupun pemilu percaya diri dan punya program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tentu mereka meninggalkan isu agama dan etnis.

Tawaran Alternatif
Mari kita mengembangkan sedikit analisa untuk menjawab tantangan dan persoalan yang akan berkembang sejauh ini terkait fenomena kebangkitan politik SARA di arena elektoral. Bahwa ada dua tawaran alternative yang diperlukan sebagai antidot (penawar racun) dari politik identitas (yang dalam berbagai momen elektoral menjadi sebangun dengan politik SARA). 

Pertama, aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seharusnya menjadi landasan etis atau pedoman perilaku baik dan buruk masyarakat di ruang-ruang publik. 

Nilai-nilai itu terkait membentuk sistem etika di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dsb. Etika Pancasila menghendaki kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kampanye hitam, fitnah, isu SARA, berita bohong, dan negatif yang menyerang pribadi kontestan atau partai lain berarti melanggar etika Pancasila dan patut dikenai sangsi sosial dan politis.

Sebagai sistem etika, Pancasila seyogianya menjadi national public norm dan leading principles, baik bagi penyelenggara negara (khususnya penyelenggara pemilu), parpol, elite politik, dan masyarakat sebagai subjek politik. Sistem ini tidak hanya menjadi rambu-rambu bagi perilaku politisi, tetapi juga bagi semua pemangku kepentingan. KPU, Bawaslu, konsultan politik, serta lembaga survei politik, memiliki kewajiban moral yang sama dan berkontribusi terhadap terciptanya kualitas demokrasi yang bermartabat, demokratis, dan manusiawi.

Kedua, kebangkitan politik kelas sebagai antidot politik kelas yang berdaya signifikan dan terorganisir menjadi musuh bersama sejak rezim otoriter Orde Baru dan berlanjut pada seluruh pemain yang mendominasi arena elektoral hari ini. Karenanya kebangkitan politik SARA yang sebetulnya secara fakta telah berkelanjutan sejak hari pertama lengsernya Suharto di tahun 1998 mesti dipahami sebagai hasil "konsensus" di antara elit-elit politik penyusun rezim kapital. 

Konsensus tersebut mengenai alas pertarungan yang disepakati antar elit politik, sekaligus konfirmasi untuk membendung alas pertarungan yang dihindari bersama semenjak lahirnya Orde Baru: alas politik kelas yang merespon proses pembangunan kapitalisme. 

Mari mencermati lapangan pertarungan elektoral terkini, sebagai contoh pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Unjuk rasa dan unjuk kekuatan gertakan yang diperagakan oleh mobilisasi tersebut sesungguhnya mengindikasikan beberapa hal yang perlu disoroti. Pertama, dengan fokus overdosis pada isu SARA semua pemain utama dalam arena elektoral sama diuntungkan akibat absennya pembahasan politik terkait soal kesenjangan dan keadilan sosial yang dipersoalkan warga yang menjadi korban kebijakan pemerintah dan gerak modal yang menyetir arah pembangunan kota. 

Pemain utama dalam pertarungan elektoral bukan hanya para kandidat calon kepala daerah, tapi juga para pemodal yang membiayai mesin politik para kontestan. Pemain lain yang penting dan telah membentuk pola dari berkali-kali pertarungan politik adalah para penyedia jasa mobilisasi. 

Mobilisasi massa dan sentimennya sebagai pemilih sangat diperlukan pada ruang elektoral sekarang ini yang nyaris tanpa pembatasan dan pengawasan ketat serta tegas soal pembiayaan aktivitas politik yang terjadi di dalamnya. Isu SARA adalah tema mobilisasi yang mudah dipopulerkan karena aspek kontroversi dan dramatiknya, tapi juga punya efek pengalihan dari isu struktural yang mendasar.

Hal kedua, pembentukan sentimen massa dengan pro kontra isu SARA sebetulnya ditujukan terutama untuk memancing blunder di antara para kontestan elektoral yang bertarung. 

Blunder tersebutlah yang diharapkan memberikan dampak signifikan dalam merebut dukungan pemilih mengambang (swing voters). Pilpres 2014 telah menjadi model penggunaan politik SARA yang tampaknya akan terus diacu, setidaknya hingga 2019. 

Implikasi dari model tersebut adalah fokus pada figur kandidat ketimbang pada program, apalagi akomodasi terhadap aspirasi kepentingan material dan struktural warga. Penekanan pada citra figur kandidat jadi orientasi untuk menggiring preferensi warga. Pilihan akan terbentang sebatas pada jenis-jenis citra tersebut: "yang sederhana", "yang tegas", "yang santun", "yang cakep" dan seterusnya. Politik elektoral lantas menjadi politik kontes kecantikan semata. 

Transaksi politik menjadi sangat dangkal dan tidak memberi tekanan bagi kemungkinan memaksa semacam fakta sosial untuk perbaikan-perbaikan relasi sosial antara warga dan pemerintah paska pemilihan. Bisa dipastikan bahwa bagaimana isu SARA berhenti atau berlanjut di Pilkada 2018 ini akan menjadi rujukan pada bagaimana dia dikembangkan di Pemilu 2019.

Ketiga, mobilisasi aksi massa dengan sentimen SARA, sebetulnya menunjukkan juga batas keampuhan dari politik identitas yang mengusung isu sektarian. Penggalangan animo sektarianisme – apakah dengan warna rasialisme atau agama – membutuhkan aliansi dengan kekuatan modal yang jelas memiliki agenda material yang mendesak. 

Agenda yang mendesak saat ini, dari sisi modal, adalah mempercepat putaran mesin pertumbuhan yang memungkinkan sirkulasi modal dari kapitalis finansial untuk disalurkan ke perluasan pembangunan sektor properti beserta infrastruktur penopangnya. Unjuk gertakan dari kelompok sektarian dengan pameran mobilisasi aksinya akan diimbangi dengan mobilisasi kelompok politik identitas lainnya yang akan bekerja membela kontestan elektoral saingannya. 

Artinya, tujuan utama untuk memenangkan supremasi politik dengan bendera sektarian tidak akan pernah tercapai, dan akan tetap lebih banyak dimanfaatkan untuk melayani kepentingan politisi-politisi utama di arena elektoral – yaitu motif memperkaya diri sendiri dan kelompok kepentingan ekonomi politiknya. Tentu saja yang akan terus menjadi korban adalah massa mengambang yang terpancing "baper" (terbawa perasaan) dan terlibat dalam pertikaian di sosial media yang memalukan. Padahal pertikaian di sosial media telah menjadi lahan bisnis bagi para buzzer atau pembentuk opini professional yang kini sedang naik daun – dan karenanya menjadi pihak yang dapat dibayar para politisi kontestan elektoral.

Dari ketiga poin di atas jelaslah ada fondasi ekonomi politik yang melandasi kejayaan dan kebangkitan politik identitas di atas panggung politik elektoral saat ini. Batas-batas panggung politik elektoral yang ditentukan oleh dominasi kepentingan ekonomi politik para pemodal di balik para politisi kontestan pertarungan electoral, mengakibatan arah politik SARA adalah komersialisasi sentimen massa sebagai pemilih potensial. 

Jadi tidaklah aneh bila semua kandidat di pilkada dan pemilu bersiasat dengan politik SARA karena sejalan dengan agenda para pemodal di balik mereka. 

Oleh karena itu selama kekuatan politik kelas belum tegak untuk mengubah batas-batas panggung pertarungan politik elektoral, maka langkah yang bisa dilakukan adalah tidak "baper" dan terpancing dalam pertikaian yang menguntungkan para penggiat politik SARA. 

Terkait dengan hal tersebut, kalangan dan kelompok yang tidak terlibat dalam permainan dan bisnis politik elektoral mainstream saat ini potensial menjadi kekuatan pengubah jalur pertarungan elektoral yang lebih menguntungkan rakyat ketimbang agenda pemodal atau pun pemain politik SARA dengan segala variasinya. Tentu saja syaratnya dengan berkonsolidasi dan membangun kekuatan politik alternatif.

Pada dasarnya memang isu SARA tidak bisa kita lepaskan dari konstelasi baik pilkada maupun pemilu, namun isu SARA tersebut dapat kita hindari dengan tawaran altrnatif yang penulis ajukan diatas, kita berharap bahwa peserta konstelasi pilkada dan pemilu lebih baik bersaing sehat. Menghindari pecah belah, dengan cara adu program dengan lawan politik. 

Dimainkanya isu SARA tidak akan berdampak, selama masyarakat tidak terprovokasi untuk ikut-ikutan merespon lemparan isu agama dan etnis. Tinggal masyarakat menilai dan mengukur kapabilitas kandidat dari agenda perubahan yang ditawarkan apa, bagaimana mencari solusi terhadap persoalan yang terjadi. Meski momen politik merupakan kompetisi, tapi hendaknya cara berpolitik tidak harus dengan upaya hasut-menghasut dan tidak menyakiti. 

Harapanya, keadaban dalam berdemokrasi tetap dijunjung tinggi, sehingga kebencian antara masyarakat yang berpotensi menyulut permusuhan dan konflik horizontal itu tidak perlu terjadi. Sebab kita semua percaya bahwa masyarakat memiliki kecerdasan.

Kita berharap, pesta demokrasi pada 2018 ini dan 2019 menjadi pesta demokrasi dan ajang kontestasi yang elegan dan bermartarbat, diselenggarakan dengan penuh kegembiraan. Betapa pun kerasnya kompetisi, jangan sampai itu merobohkan bangunan rumah bersama, bernama Indonesia. Pihak yang menang semestinya menjadi the great winner tanpa niat menyengsarakan pihak lain. 

Sementara itu, pihak yang kalah seyogianya menjadi the good loser, mau menerima kekalahan dengan lapang dada dan siap bekerja sama.

Oleh: Muhammad Husaini Dani, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsyiah dan Alumni Sekolah Pemimpin Muda Aceh (SPMA) Unsyiah.
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru