Purbaya Yudhi Sadewa Bahas Rencana Penurunan PPN untuk Dorong Daya Beli Masyarakat
0 menit baca
JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka wacana besar dalam kebijakan fiskal Indonesia: penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Langkah ini dinilai dapat menjadi stimulus penting bagi peningkatan daya beli masyarakat yang saat ini masih melemah di tengah tekanan ekonomi global dan penurunan penerimaan pajak.
"Nanti kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan," ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN edisi September 2025, dikutip Kamis (16/10/2025).
Namun ia menegaskan, keputusan ini tak bisa diambil terburu-buru. Pemerintah, katanya, harus berhitung cermat terhadap kesehatan fiskal agar tidak menimbulkan risiko defisit anggaran yang melebar.
"Jangan sampai saya turunin (PPN) tapi berantakan semuanya. Nanti defisit di atas 3%. Jadi kita harus balance, timbang-timbang mana yang paling baik," jelasnya.
Penerimaan Pajak Tertekan, Ruang Fiskal Menyempit
Hingga akhir September 2025, setoran pajak masih mengalami kontraksi 4,4% secara tahunan menjadi Rp 1.295,3 triliun. Tekanan terbesar datang dari PPh Badan yang turun 9,4% menjadi Rp 215,10 triliun dan PPN-PPnBM yang terkontraksi 13,2% menjadi Rp 474,44 triliun.
Kondisi ini membuat ruang fiskal pemerintah semakin terbatas untuk melakukan stimulus besar. Meski demikian, wacana penurunan tarif PPN mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan.
Dukungan Dunia Usaha: PPN Turun, Konsumsi Naik
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, menilai kebijakan penurunan tarif PPN sangat relevan untuk saat ini. Ia menjelaskan, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kontribusi lebih dari 54% terhadap PDB.
Namun dalam beberapa bulan terakhir, indikator konsumsi menunjukkan pelemahan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun dari 121,1 pada Juli menjadi 115 pada September 2025. Penjualan ritel dan kendaraan juga mengalami kontraksi, menandakan masyarakat mulai menahan belanja besar.
"Dalam konteks ini, kebijakan penurunan tarif PPN tentu relevan sebagai instrumen untuk meringankan beban masyarakat dan merangsang permintaan," tegas Shinta.
DPR Dorong Pemerintah Turunkan Tarif ke 8%
Dukungan juga datang dari parlemen. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menilai tarif PPN perlu dikembalikan ke level yang lebih rendah.
"Kalau perlu PPN kita turunkan kembali ke 10% dan kalau bisa ke 8%, untuk mengangkat daya beli masyarakat," ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa sejak Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disahkan, tarif PPN naik dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan direncanakan naik lagi menjadi 12% pada 2025. Namun karena penolakan publik, kenaikan tersebut hanya berlaku untuk barang mewah, sementara tarif umum tetap 11%.
Ruang Hukum untuk Penurunan Tarif PPN
Pasal 7 ayat (3) UU HPP sebenarnya memberi ruang bagi pemerintah menurunkan tarif PPN hingga batas bawah 5%. Artinya, secara hukum, Purbaya memiliki kewenangan menurunkan tarif ke level 8% tanpa harus merevisi undang-undang.
Namun, tantangan utamanya tetap pada keseimbangan fiskal. Tanpa penyesuaian di sisi penerimaan dan efisiensi belanja, kebijakan ini bisa memperlebar defisit APBN.
Pandangan Ekonom: Manfaat Ada, Tapi Risiko Juga Nyata
Menurut M. Rizal Taufikurahman, Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF, penurunan tarif PPN dapat membantu menahan tekanan harga dan memperkuat daya beli, terutama di kelas menengah bawah. Namun dari sisi fiskal, langkah ini berpotensi menggerus penerimaan pajak dalam jangka pendek.
"Jika tidak diimbangi dengan perluasan basis pajak dan efisiensi belanja, kebijakan ini bisa mempersempit ruang fiskal tahun depan," katanya.
Rizal menambahkan, tanpa perbaikan struktur penerimaan, kebijakan ini bisa menimbulkan "scarring effect fiscal", hilangnya potensi penerimaan struktural akibat penurunan tarif yang menjadi baseline baru, sementara kebutuhan belanja pemerintah terus meningkat.
Belajar dari Vietnam dan Negara Lain
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengingatkan bahwa kebijakan serupa pernah dilakukan di negara lain. "Vietnam, misalnya, menurunkan tarif PPN dari 10% menjadi 8% untuk menggerakkan kembali perekonomian pasca pandemi," ujarnya.
Namun, Yusuf menegaskan bahwa langkah ini tetap memiliki risiko fiskal. "PPN adalah kontributor terbesar terhadap pendapatan pajak nasional. Jadi, dampaknya ke penerimaan harus diantisipasi dengan efisiensi belanja dan stimulus yang terukur," jelasnya.
Para ekonom sepakat, penurunan tarif PPN bisa menjadi langkah strategis bila dilakukan secara hati-hati dan disertai kebijakan pendukung seperti perluasan basis pajak, digitalisasi fiskal, serta efisiensi belanja publik.
"Dengan pengelolaan belanja yang lebih efisien, dampak fiskal dari penurunan PPN bisa diminimalkan tanpa mengorbankan kualitas belanja publik," pungkas Yusuf. [CNBC]