Ekbis
Diplomasi Aceh–Selandia Baru: Perdamaian, Investasi, dan Jalan Baru Ekonomi
BANDA ACEH – Suasana hangat menyelimuti Pendopo Wakil Gubernur Aceh pada Selasa, 23 September 2025. Di ruang pertemuan itu, Wakil Gubernur Aceh, H. Fadhlullah, SE, menerima delegasi Kedutaan Besar Selandia Baru yang dipimpin oleh Deputy Head of Mission, Giselle Larcombe. Pertemuan ini bukan sekadar seremonial diplomasi, melainkan juga momentum strategis yang mempertemukan kepentingan politik, ekonomi, dan sosial Aceh dengan dunia internasional.
Dua dekade setelah penandatanganan MoU Helsinki, Aceh kini dipandang sebagai laboratorium perdamaian yang berhasil menjaga stabilitas. Fadhlullah menekankan bahwa capaian 20 tahun perdamaian adalah bukti komitmen rakyat Aceh.
Namun, ia juga mengingatkan, perdamaian tidak boleh berhenti pada simbol; ia harus diwujudkan dalam kesejahteraan nyata. "Kami berharap pemerintah pusat menuntaskan implementasi MoU Helsinki secara menyeluruh," ujar Fadhlullah, menyampaikan pesan diplomatis yang juga bernuansa politis.
Pernyataan itu memberi sinyal bahwa Aceh masih menaruh harapan besar pada janji-janji otonomi khusus. Dalam kacamata politik-ekonomi, hal ini menjadi penting: sebab stabilitas politik yang terjaga harus ditopang oleh kemandirian ekonomi agar tidak sekadar menjadi kisah damai yang rapuh.
Di hadapan delegasi Selandia Baru, Wagub Fadhlullah menyoroti sektor unggulan Aceh: wisata, kopi, nilam, hingga kelapa sawit. Ia menekankan perlunya investasi, terutama di bidang pelabuhan, agar komoditas unggulan tidak hanya bernilai di pasar lokal, tetapi juga dapat langsung menembus pasar global.
"Sebenarnya Aceh ini sangat kaya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, kami membuka peluang investasi selebar-lebarnya," ungkapnya.
Bagi Selandia Baru, yang dikenal memiliki industri pertanian modern dan pelabuhan ekspor yang efisien, peluang kerja sama ini tentu menarik. Sinergi keduanya dapat menghadirkan nilai tambah: Aceh mendapat transfer teknologi dan akses pasar, sementara Selandia Baru memperoleh mitra baru di jalur strategis Selat Malaka.
Namun, diplomasi tidak hanya berbicara tentang ekonomi. First Secretary (Political), Emma Harman, menyinggung isu toleransi di Aceh. Pertanyaan itu menjadi refleksi bagi dunia internasional, bagaimana Aceh mempraktikkan pluralisme dalam bingkai syariat Islam. Fadhlullah menjawab dengan tegas: masyarakat Aceh memiliki tingkat toleransi tinggi dan mampu hidup rukun dalam keberagaman. Jawaban itu bukan sekadar retorika, melainkan juga upaya membangun citra Aceh di mata dunia.
Isu global lain yang ikut mengemuka adalah soal pengungsi. Representative of New Zealand Police, Tim Chao, menanyakan pandangan Aceh di tengah meningkatnya arus migrasi akibat konflik global. Kepala Kesbangpol Aceh, Dedy Yuswadi, AP, merespons dengan menekankan pengalaman Aceh sejak 2015 dalam menampung pengungsi, khususnya etnis Rohingya. Meski sesekali terjadi gesekan sosial, Aceh tetap menunjukkan wajah kemanusiaannya.
Pernyataan itu memperkuat citra Aceh sebagai daerah yang bukan hanya mampu menjaga perdamaian internal, tetapi juga berperan dalam solidaritas internasional. Di titik ini, diplomasi Aceh–Selandia Baru melampaui kepentingan ekonomi; ia menjelma menjadi ruang dialog nilai dan kemanusiaan.
Kehadiran Kepala Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan Kepala Biro Ekonomi Setda Aceh dalam pertemuan tersebut menandakan satu hal: isu perdamaian dan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Perdamaian memberi ruang untuk investasi, sementara investasi yang tepat memperkuat perdamaian.
Meski demikian, pertemuan ini juga membuka ruang kritik tersirat. Di tengah semangat membuka investasi, Aceh harus berhati-hati agar tidak kembali terjebak dalam model ekstraktif yang hanya menguntungkan investor luar. Jika peluang investasi tidak diimbangi dengan keberpihakan pada rakyat, maka yang terjadi hanyalah pengulangan sejarah: sumber daya alam keluar, tetapi rakyat tetap menonton dari pinggir.
Bagi Aceh, diplomasi dengan Selandia Baru adalah pintu, bukan tujuan akhir. Pertemuan di pendopo Wagub adalah simbol, tetapi kerja nyata menunggu di lapangan: bagaimana investasi bisa menyerap tenaga kerja lokal, bagaimana pelabuhan bisa menjadi gerbang ekonomi rakyat, dan bagaimana perdamaian bisa diwujudkan dalam angka pertumbuhan yang inklusif.
Dua puluh tahun setelah perdamaian, Aceh seakan berdiri di persimpangan: apakah tetap puas dengan narasi damai, atau berani melangkah menuju narasi baru—yakni damai yang berbuah sejahtera. Diplomasi Aceh–Selandia Baru adalah satu langkah, tetapi perjalanan masih panjang. []
Via
Ekbis