Tragedi 3 Mei Simpang KKA Keluarga Korban Penembakan Tagih Janji Presiden Jokowi

ACEH UTARA- Sorotan hari bersejarah Tragedi simpang KKA pada 3 Mei tahun 1999 silam, kembali mengisahkan catatan sejarah pahit bagi Rakyat Aceh, sebuah Pelanggaran HAM berat terjadi sejak kala itu, sampai saat ini belum tersentuh Proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat.

Rakyat Aceh sangat menantikan proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat bagi pelaku Pelanggaran HAM Berat di Simpang KKA, 

Sebelumnya, Keluarga korban dan korban Tragedi Simpang KKA, Aceh Utara, berharap adanya penyelesaian yang berkeadilan dan bermartabat terhadap pelanggaran HAM yang mereka alami. Keinginan terbesar mereka yaitu dibentuknya pengadilan ad hoc.

Tepatnya hari ini Jumat 3 Mei 2024. bersama Masyarakat Keluarga Korban Penembakan di Simpang KKA menggelar aksi dan doa bersama, dalam rangka mengenang 25 Tahun Tragedi Penembakan Masyarakat Sipil di Simpang KKA.
Korban dan keluarga korban Tragedi Simpang KKA menggelar aksi damai di tugu lokasi penembakan masal terhadap masyarakat sipil oleh tentara Nasional Indonesia kala itu, di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Mereka mengenang tragedi yang terjadi tepat tanggal 3 Mei, 25 tahun silam.

Dalam aksi itu mereka menagih janji Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) untuk pemenuhan hak korban dan keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu di simpang KKA.
Kendati telah terbit Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, ditambah Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat, pemenuhan hak korban dan keluarga belum juga terwujud.

"Kami menagih janji presiden pasca kick off (penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu) di Rumoh Geudong beberapa waktu lalu. Pak residen mana janjimu?," kata Murthala, koordinator forum komunikasi korban dan keluarga korban Tragedi Simpang KKA atau FK3T-SP.KKA.
Sejarah Tragedi Simpang KKA, telah menjadi Topik pembicaraan publik, dimana tepatnya pada tanggal 3 Mei 1999, telah terjadi sebuah konflik di Aceh yang disebut nama Tragedi Simpang KKA (Simpang Kraft) atau yang dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh. 

Terjadinya tragedi Simpang KKA berawal dari hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudah 001/Pulo Rungkom pada tanggal 30 April 1999. Anggota ini diduga menyusup ke acara peringatan 1 Muharam yang sedang diadakan oleh warga Desa Cot Murong. 
Pasukan Militer Detasemen Rudah menanggapi hilangnya anggota tersebut dengan melakukan operasi pencarian besar-besaran yang melibatkan berbagai satuan, termasuk Brimob. 

Ketika aparat sedang melakukan penyisiran di Desa Cot Murong, mereka menangkap sekitar 20 orang dan melakukan berbagai aksi kekerasan. Para korban mengaku dipukul, ditendang, dan diancam oleh aparat. 
Menanggapi laporan tersebut, warga desa pun mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk melakukan negosiasi. Setelah proses negosiasi selesai, komandan TNI berjanji bahwa aksi kekerasan ini tidak akan terulang lagi.

Namun, pada kenyataannya, janji tersebut tidak mereka tepati. Tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara memasuki Desa Cot Murong dan Lancang Barat, tetapi diusir oleh warga setempat.

Kedatangan tentara ke Desa Cot Murong lantas membuat warga setempat merasa marah, karena janji mereka tidak ditepati.  Alhasil, warga Desa Cot Murong melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut janji yang diberikan komandan TNI. 
Pada siang hari, para pengunjuk rasa berhenti di persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh, yang tempatnya berdekatan dengan markas Korem 011. Warga kemudian mengirimkan lima perwakilannya untuk berdiskusi bersama dengan komandan.

Sewaktu diskusi sedang berlangsung, tiba-tiba jumlah tentara yang mengepung warga semakin banyak. Warga pun mulai melempari batu ke markas Korem 011 dan membakar dua sepeda motor di sana.

Setelah itu, dua truk tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) yang dijaga oleh Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang. Mereka mulai menembaki kerumunan para pengunjuk rasa.
Dari peristiwa tersebut, sedikitnya 46 warga sipil meninggal, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang. Tujuh dari korban tewas diidentifikasi masih anak-anak.

Tregedi Simpang KKA diakui Oleh Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia Ir. H. Joko Widada (Jokowi) suah Pelanggaran HAM berat.

Sebelumnya, dikutip Media TheAtjehNet. Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui tragedi Simpang KKA di Aceh Utara sebagai pelanggaran HAM berat pada konferensi pers Rabu (11/1/2023 lulu, sebuah pelanggaran HAM berat.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia, mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa di Aceh. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat," kata Presiden Jokowi.

Atas Pelanggaraan HAM berat di Simpang KKA sampai saat ini belum juga di lakukan pengusutan secara hukum, Rakyat Aceh sangat menantikan adanya titik terang dibalik kasus tragedi Simpang KKA.(Red)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru