Ketua DPR Aceh Bahas Isu Penting dan Perkembangan Aceh Dengan Mendagri

JAKARTA - Salah satu agenda lawatan kerja Ketua DPR Aceh di Jakarta adalah bertemu dengan Menteri Dalam Negeri untuk membahas isu-isu terkait perkembangan Aceh. Pertemuan antara Ketua DPR Aceh, Dahlan Jamaluddin, SIP dan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian berlangsung di rumah dinas Pak Tito, Rabu malam (12/8/2020).
 
Pertemuan ini sekaligus menegaskan suasana santai dan bersahabat antara Menteri Dalam Negeri dan Ketua DPR Aceh. 

"Saya diterima di rumah dinas Pak Tito, diskusi kami berlangsung selama 2 jam, selain menyampaikan tentang perkembangan kelembagaan dan kerja-kerja DPR Aceh, kami juga membahas isu-isu penting dan perkembangan Aceh, dan kesiapan Pemerintah Aceh dalam penanganan Covid", ujar Dahlan.

Dalam pertemuan ini, Menteri Dalam Negeri juga menyampaikan kepada Ketua DPR Aceh agar kelembagaan DPR Aceh harus semakin kuat dan solid, bekerja sesuai peraturan dan etika politik.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian juga menyampaikan bahwa beliau akan melakukan lawatan kerja ke Aceh dalam 2 minggu kedepan untuk melihat kesiapan Pemerintah Aceh dan masyarakat dalam menghadapi pandemi covid-19.

"Beliau mendapatkan informasi bahwa terjadi peningkatan kasus positif covid-19 di Aceh secara signifikan dalam dua minggu ini, sehingga beliau perlu melihat langsung agenda kesiapan Pemerintah, strategi penanganan dan efektifitas anggaran refocusing APBA 2020 sebesar Rp 1,7 triliun", tambah Dahlan lagi.

Diakhir pertemuan, Dahlan menyerahkan Kopiah Aceh yang langsung dipakai oleh Menteri Dalam Negeri dan kopi gayo di kawasan leuser.

Dahlan menjelaskan sekilas tentang Kopiah Aceh sebagai identitas adat dan budaya Aceh, serta menjelaskan tentang kopi gayo leuser yang tumbuh di daratan tinggi gayo, dimana kopi gayo merupakan komoditas unggulan Aceh yang mempunyai nilai ekonomis namun tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Adapun isu penting terkait perkembangan Aceh yang dibahas dalam pertemuan tersebut diantaranya, tata kelola pemerintahan kolaboratif antara eksekutif dan legislatif. Sehingga membangun tata-kelola pemerintahan Aceh yang lebih baik.

Selain menekankan pada tugas pokok dan fungsi eksekutif dan legislatif, pembangunan Aceh harus didasarkan pada semangat pengelolaan bersama dan kolaboratif antara eksekutif dan legislatif.

Selain itu memperkuat tiga tugas pokok dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dengan memperkuat kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Selanjutnya penguatan perdamaian secara berkelanjutan untuk menjaga integritas nasionalisme Indonesia serta keberlanjutan perdamaian di Aceh berdasarkan MoU Helsinki juga menjadi poin penting dalam pembahasan antara Mendagri dengan Ketua DPRA.

Menurut Dahlan, sumber penerimaan keuangan dan pengelolaan aset keuangan Daerah harus mampu meningkatkan Pendapatan Asli Aceh (PAA).

Dalam hal ini dapat mengoptimalisasi berbagai potensi sumber penerimaan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi sumber-sumber PAA (dana cadangan BLUD, BUMA, imbal jasa perdagangan karbon, Investasi, ZISWAF).

Dalam hal pemenuhan ketahanan dan kemandirian pangan, pembangunan ekonomi Aceh melalui sektor pertanian dan perkebunan, terutama 6 sektor unggulan– dimana 30% luas daratan Aceh adalah lahan pertanian dan perkebunan. Sementara 70% penduduk Aceh tinggal di pedesaan, dan 70% penduduk pedesaan adalah petani.

Hal lain yang dibahas mengenai pembangunan ekonomi Aceh me-lalui sektor minyak dan gas dengan Pengelolaan 12 Blok Migas di Aceh dan pengembangan infrastruktur kilang di wilayah KEK Arun (Kawasan Ekonomi Khusus) dan "pipanisasi" gas dari Lhokseumawe ke Banda Aceh. Infrastruktur minyak dan gas di KEK Arun sudah 75% dan ditopang dengan pelabuhan yang besar.

Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Aceh juga harus tepat sasaran dan berkelanjutan dengan pengelolaan dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) skala prioritas pembangunan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh yang telah disusun dan disepakati antara Eksekutif dan Legislatif. Serta mendorong keberlanjutan dana DOKA setelah tahun 2027 dengan skema dan regulasi yang disesuaikan.

Pengembangan infrastruktur dasar dan konektivitas antar wilayah harus menjadi Pengembangan infrastruktur dasar dan konektivitas antar wilayah diharapkan dapat menurunkan kesenjangan wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh sesuai dengan RTRW Aceh.

Dalam hal ini, peningkatan kualitas infrastruktur dasar (irigasi, air baku, infrastruktur pemukiman) dan perbaikan konektivitas antarwilayah akan memberi manfaat tidak hanya pada peningkatan aktivitas perekonomian. Namun juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Aceh. (*)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru