Aliansi Mahasiswa Aceh Desak DPRA Segera Realisasikan Butir-butir MoU Helsinki

BANDA ACEH - Tepat tanggal 15 mendatang (15 agustus 2020) umur perdamiaan konflik senjata Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia akan memasuki umur 15 tahun. Perang memang telah usai, kesepakatan damai telah terjalin namun luka yang dalam tidak mudah terhapus begitu saja. 

Nota kesepakatan damai yang selanjutnya disebut dengan MoU Helsinki dan UUPA adalah harapan baru bagi seluruh masyarakat Aceh terutama bagi korban langsung akibat konflik bersenjata Aceh yang berkepanjangan.

Perhatian terhadap kondisi Aceh dan korban pelanggaran HAM di Aceh tidak boleh hanya sebatas perhatian, para pihak harus sepakat dan berkomitmen untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah terjadi di Aceh guna membangun masa depan Aceh yang berkesejahteraan.

Status Khusus dan Istimewa yang telah diberikan kepada pemerintah Aceh tidaknya hanya merupakan kewenangan semata, akan tetapi pemerintah pusat juga mendukung pendanaan yang saat ini kita sebut dengan dana otonomi khusus (Otsus) kepada  pemerintah Aceh sebagai dukungan pelaksanaan pembangunan demi terwujudnya percepatan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Dalam menyambut Refleksi 15 Tahun perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia Maka Aliansi Mahasiswa Aceh yang tergabung oleh Universitas Malikussaleh, Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Universitas Al- Muslim, dan Universitas Teuku Umar Melakukan Audiensi dengan pimpinan DPRA, kamis 23 Juli 2020

Muhammad Fadli Selaku Juru Bicara (Jubir) Aliansi Mahasiswa Aceh dalam Audiensi tersebut menyampaikan kepada Media Pada Momentum Refleksi 15 Tahun Perdamaian Aceh di tanggal 15 Agustus 2020 nanti kita tidak ingin Para Pemangku Jabatan di Aceh baik Eksekutif ataupun Legislatif selalu membahas isu-isu Populis dan Penuh dengan semiotika.

Padahal di dalam MoU Helsinki dan UU No 11 Tahun 2006 tidak hanya membahas isu-isu simbolis saja, Namun ada hal yang paling subtansial yang memang apabila poin tersebut direalisasikan akan memberikan dampak yang besar bagi Masyarakat Aceh

Muhammad Fadli menambahkan bahwa sumber pendapatan Aceh tidak hanya bersumber dari PAD dan Dana Perimbangan semata, akan tetapi juga bersumber dari alokasi dan khusus sebagai daerah otonomi khusus. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh jelas menyebutkan bahwa pasal (1) "Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan".

Selanjutnya Pasal (2) mengatakan "Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional".

Sedangkan dalam Pasal (3) menegaskan bahwa "Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3".

Perdamaian yang telah terwujud harusnya menjadi harapan baru bagi masyrakat Aceh, kewenangan dan dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat adalah pintu masuk menuju kesejahteraan. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) bahwa masa waktu 20 tahun dimana tahun pertama sampai dengnan tahun ke-15 Aceh akan mendapatkan kiriman dana otonomi khusus setiap tahunnya sebesar 2% dari flafon dana alokasi umum nasional, sedangkan tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 pemerintah akan mengirimkan 1% dari flafon dana alokasi umum nasional. 

Artinya jika dihitung sejak tahun 2008 maka dana otonomi khusus aceh akan berakhir di tahun 2027 dan sekarang tahun 2020 adalah sudah memasuki tahun ke-14.
Sejak tahun 2008 sampai dengan 2019 atau sampai dengan tahun ke-13 Pemerintah Aceh telah menerima kucuran dana otsus sebesar sebesar Rp 73.360 triliun. Diperkirakan keseluruhan dana otsus Aceh sampai dengan tahun 2027 jika ditotal akan mencapai 163 triliun. 

Pada tahun 2008 dana otsus yang diterima Aceh sebesar Rp 3,5 triliun,kemudian menjadi Rp 3,7 triliun pada tahun 2009, Rp 3,8 triliun tahun 2010, Rp 4,5 triliun tahun 2011, Rp 5,4 triliun tahun 2012, Rp 6,2 triliun tahun 2013.Rp 8,1 triliun tahun 2014, Rp 7,057 miliar tahun 2015, tahun 2016 Rp 7,675 triliun, tahun 2017 Rp8,27 triliun, tahun 2018 Rp 2,4 triliun dan tahun 2019 dana otsus yang diterima Aceh sebesar 8,3 triliun.

Jika merujuk pada pasal 183 ayat (1) UUPA fokus penggunaan dana otonomi adalah merupakan penerimaan Pemerintah Aceh ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan". 

Pada kenyataanya akses dana otonomi khusus Aceh sudah di ujung tahun ke-13, namun pembangunan infrasturktur di Aceh juga tidak begitu terlihat, pembangunan ekonomi rakyat juga tidak meningkat dengan bagus bahkan angka kemiskinan Aceh berada pada tingkat ke-6 secara nasional dan berada pada peringkat ke-1 di Sumatera.

Angka kemiskinan di Aceh juga diharapkan bisa selesai dengan penambahan jumlah investasi di Aceh. Sampai dengan tahun 2019 dalam bidang Sumber Daya Alam (SDA) saja setidaknya di Aceh terdapat 450 izin pertamabngan, 146 Hak guna Usaha dalam bidang perkebunan, dan 39 Pabrik Kelapa Sawit (PKS). 

Pada kenyataannya angka investasi di Aceh dalam berbagai sektor semakin meningkat dari tahun ke tahun, namun masih juga tidak mampu menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Tidak hanya kemapuan mengurangi angka kemiskinan, bahkan investasi di aceh menjadi penyumbang konflik sosial dan pelaku perampasan lahan (konflik pertanahan).

Selain itu nasib pendidikan Aceh, secara nasional pendidikan Aceh masih berada pada peringkat ke-27 dari 34 Provinsi Yang ada di Indonesia. Angka masyarakat yang menghuni rumah tidak layak huni juga masih tergolong banyak di Aceh.

Begitu juga dengan pelayanan kesehatan, akses masyarakat terhadap hak atas pelayanan kesehatan masih tergolong belum begitu membanggakan di Aceh, masih banyak orang yang mati akibat fasilitas kesehatan yang tidak memadai, atau akibat prilaku tenaga medis yang tidak pernah dievaluasi (dugaan malpraktek)

Isu lain yang sangat penting adalah pemenuhan dan pertanggungjawaban Aceh untuk korban pelanggaran HAM di Aceh yang terjadi selama 30 tahun konflik Aceh. Setidaknya dari Berbagai sumber menyebutkan bahwa ada 40.000-50.000 jiwa korban pelanggan Hak Asasi Manusia akibat konflik bersenjata di Aceh. 

Sampai saat ini masih sangat minim dukungan pemerintah untuk KKR Aceh baik secara penganggaran maupun secara kelembagaan dan tindak lanjut terhadap rekomendasi KKR Aceh. sampai saat ini, KKR Aceh telah mengambil lebih dari 3.040 pernyataan, dan telah menyampaikan 240 orang korban konflik untuk kategori pemulihan mendesak, dan sampai saat ini belum ada tindak lanjut selain menerbitkan SK reparasi, sedangkan pelaksanaannya belum terlaksana.

Belakangan ini, isu kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak juga meningkat, untuk tahun 2020 sampai dengan saat setidaknya sudah ada 33 anak yang telah menjadi korban pemerkosaan dan 90 anak lainnya mengalami pelecehan. Pemerintah aceh harus memikirkan solusi untuk ini, setidaknya melakukan evaluasi kelembagaan yang membidangi perempuan dan anak serta mengevaluasi regulasi yang tersedia, agar pelaku tidak dihukum ringan.

Rencana nasional untuk mengesahkan RUU Omnibus Law juga menjadi masalah yang harus diatasi oleh pemerintah Aceh untuk mejaga keutuhan kewenangan Aceh mengingat banyak aturan yang diatur dalam RUU Omnibus Law memangkas kewenagan daerah/provinsi diambil alih menjadi kewenangan pusat terutama dalam bidang perizinan dan investasi SDA. Pemerintah Aceh dalam hal ini DPRA harus memastikan keutuhan UUPA agar tidak tergerus oleh RUU Omnibus Law.

Mengingat segelumit masalah yang masih terjadi di Aceh, tentunya kondisi Aceh saat ini menyadarkan kita semua bahwa Aceh masih jauh dari cita-cita Perdamaian. Untuk itu, kami Dari Aliansi Mahasiswa Aceh meminta DPRA untuk segera mengambil langkah-langkah strategis, sebagai berikut :

1. Megevaluasi sistem pendidikan di Aceh untuk menjamin terpenuhi hak atas pendidikan yang layak dan pendidikan berkualitas di Aceh, serta memastikan beasiswa yang tepat sasaran untuk semua jenjang pendidikan.

2. Mengevaluasi ulang rencana investasi, pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi masyarakat Aceh untuk mendorong pengurangan angka kemiskinan di Aceh.

3. Memastikan terwujudnya keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh, dengan cara mendukung kerja kerja KKR Aceh, baik dukungan anggaran, dukungan kebijakan maupun implementasi rekomendasi hasil kerja-kerja KKR Aceh.

4. Membentuk tim review RUU Omnibus Law, untuk menyisir ancaman dan pemangkasan kewenagan Aceh selanjunya menyurati Presiden dan DPR RI, untuk mengintervensi keutuhan kewenangan Aceh yang telah dijamin dalam UUPA.

5. Mengevaluasi lembaga penyelenggaraan perliundungan Anak dan perempuan, serta memperbaiki regulasi yang memberikan keadilan bagi perempuan dan anak.

6. Mendorong penyelesaian konflik pertanahan di Aceh, dan mempercepat pengesahan Qanun Pertanahan Aceh.

Dan Alhamdulillah dalam audiensi yang penuh Dialektika tersebut Pimpinan DPRA Yang hadir ada Ketua DPRA, Wakil III DPRA, ketua Komisi I, Ketua Komisi II, Wakil Banleg, Dan anggota DPRA yg lainnya Telah berkomitmen untuk segera menindaklanjuti Petisi dari Aliansi Mahasiswa Aceh Tersebut dan Progres nya akan di Mulai pada Tanggal 15 Agustus 2020 nanti.

Kami Aliansi Mahasiswa Aceh akan mengawal Petisi tersebut dan menuntut Tanggal 15 Agustus 2020 sudah ada Progres dalam menindaklanjuti Petisi kami tersebut, Apabila tidak ada dan masih stagnan maka kami akan melakukan langkah Advokasi Secara Represif dengan Melakukan Extra Parliamentary ( Aksi demonstrasi ) Karna langkah advokasi secara preventif telah kami lakukan, tutup Muhammad Fadli selaku Jubir Aliansi Mahasiswa Aceh
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru