Eks GAM: Rencana Pembangunan Empat Batalyon TNI di Aceh, Bukti Lembaga Wali Nanggroe Telah Kehilangan Fungsi

BIREUEN- Rencana Pemerintah Pusat untuk membangun empat batalyon teritorial TNI di Aceh memunculkan kekhawatiran mendalam di kalangan masyarakat sipil, dan para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Langkah ini dinilai tidak semata-mata sebagai kebijakan pertahanan, melainkan sebagai indikasi kemunduran dalam komitmen terhadap implementasi Nota Kesepahaman Helsinki yang menjadi tonggak utama perdamaian Aceh sejak 15 Agustus 2005.

Perjanjian damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Firlandia, merupakan hasil perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM, yang mengakhiri konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade. Nota Kesepahaman tersebut memberikan Aceh status otonomi khusus dengan sejumlah poin penting, di antaranya: pelucutan senjata GAM, penarikan pasukan TNI non-organik dari Aceh, pembentukan partai politik lokal, dan pemulihan hak-hak korban konflik.

Namun, setelah hampir dua dekade, banyak pihak menilai bahwa janji-janji dalam perjanjian tersebut mulai dikhianati. Kehadiran kembali militer dalam jumlah besar, jika benar terjadi, justru berpotensi mencederai semangat perdamaian dan memperkuat narasi bahwa otonomi Aceh telah dikerdilkan secara sistematis.

Salah satu Eks Kombatan GAM. Efendi, atau yang akrab disapa Koboy Matang, kepada media ini Selasa 6 Mei 2025 saat dijumpai di kawasan pedalaman Bireuen, mengatakan bahwa pembangunan empat batalyon TNI baru adalah bentuk pengingkaran terhadap substansi perdamaian Helsinki. "Kalau batalyon dibangun, lalu untuk apa lagi keberadaan Lembaga Wali Nanggroe? Bukankah lembaga Wali Nanggroe itu seharusnya menjadi simbol penjaga martabat dan kedaulatan Aceh?" ujarnya tajam.
Lebih jauh, Koboy juga melontarkan kritik keras terhadap elit politik Aceh dan sebagian eks GAM yang kini berada di dalam lingkaran kekuasaan. Menurutnya, bukannya memperjuangkan aspirasi rakyat, mereka justru terjebak dalam praktik korupsi dan pengkhianatan terhadap cita-cita perjuangan.

"Sudah hampir 20 tahun sejak damai ditandatangani, yang didapat rakyat Aceh hanya label daerah termiskin di Sumatera. Sementara dana otonomi khusus yang digelontorkan triliunan rupiah justru dikuras oleh segelintir elite yang mengatasnamakan perjuangan," tambah Koboy.

Ia mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengirimkan tim investigasi khusus ke Aceh untuk mengaudit menyeluruh pengelolaan dana Otsus dan bantuan untuk korban konflik. "Yang dibutuhkan Aceh bukan batalyon militer tambahan, tetapi penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap korupsi yang menggerogoti masa depan rakyat," pungkasnya.

Pernyataan ini menjadi tamparan keras, tidak hanya kepada pemerintah pusat, tetapi juga kepada institusi-institusi yang dinilai gagal menjadi perpanjangan tangan aspirasi rakyat Aceh.(MS)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru