Dua Dekade MoU Helsinki: Anak Eks Kombatan GAM Nilai Janji Damai Dikhianati, Referendum Opsi Merdeka

BANDA ACEH- Dua puluh tahun pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, sorotan tajam kembali muncul dari kalangan keluarga eks kombatan. Mereka menilai butir-butir fundamental dalam perjanjian damai tersebut telah diabaikan, memunculkan narasi kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap keberlanjutan perdamaian.

Tgk Mauliadi, salah satu putra dari Eks kombatan GAM, menyuarakan kekecewaannya secara terbuka. Ia menyebut bahwa implementasi MoU Helsinki tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan cenderung dikhianati oleh kedua belah pihak, terutama Pemerintah Pusat dan elit politik lokal.

"Sudah dua dekade damai diteken, tapi banyak poin krusial MoU yang diabaikan. Ini bukan lagi kelalaian administratif, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap komitmen damai yang seharusnya mengakhiri sejarah luka Aceh," tegas Mauliadi dalam pernyataannya kepada media ini Kamis (1 Mei 2025)

Ia bahkan mendorong agar opsi referendum atau kemerdekaan kembali dipertimbangkan, sebagai reaksi atas stagnasi implementasi kesepakatan yang disepakati di Helsinki, 15 Agustus 2005 silam.

Beberapa poin krusial yang hingga kini tak kunjung direalisasikan antara lain pengakuan terhadap bendera dan lambang Aceh sebagai simbol kultural dan politik daerah, realisasi pembagian hasil sumber daya alam secara adil 70:30 untuk Aceh, serta pemberian kewenangan lokal atas kepolisian dan pengelolaan sumber daya.

Lebih lanjut, Mauliadi menyoroti lemahnya fungsi representasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam memperjuangkan mandat rakyat dan mengawal butir-butir MoU yang telah menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

"DPRA seperti kehilangan daya kritis dan nyali politik. Mereka diam dalam stagnasi, seolah hanya menjadi perpanjangan birokrasi. Kalau seperti ini, lebih baik kantor mereka diselimuti kain kafan saja," sindirnya tajam.

Selain itu, janji reintegrasi dan peningkatan kesejahteraan bagi para eks kombatan juga dinilai gagal total. Ia menyampaikan bahwa banyak anak-anak eks pejuang hidup dalam keterbatasan tanpa akses pendidikan, lapangan pekerjaan, maupun perhatian dari negara yang pernah berjanji memulihkan martabat mereka.

"Kami ini anak-anak para pejuang. Tapi hari ini, kami justru merasa terbuang dan dilupakan. Di mana negara ketika kami butuh masa depan?" ujarnya dengan nada getir.

Pernyataan ini menjadi refleksi keras bahwa damai tidak cukup dimaknai sebatas absennya senjata. Perdamaian yang hakiki menuntut keadilan substantif, rekognisi identitas, serta pemenuhan hak ekonomi dan politik sebagaimana dijanjikan.

Mauliadi mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MoU Helsinki, dengan melibatkan kembali para tokoh perunding.

"Jangan tunggu luka lama berdarah lagi. Jika perjanjian yang sudah disepakati saja tak bisa ditepati, apa lagi yang bisa dipercaya dari negara ini?" pungkasnya.(MS)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru