Dongeng Politik dan Goyang Karawang
BANDA ACEH- Aceh, wilayah yang terletak di ujung barat Pulau Sumatra, dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Selat Malaka, memiliki catatan sejarah yang mengagumkan. Pada masa lampau, Aceh dikenal luas di panggung dunia, tercermin dari keberadaan tanah wakaf Baitul Asyi di Arab Saudi yang diinisiasi oleh tokoh besar Aceh, Habib Bugak Asyi, pada tahun 1809. Ungkapan populer "Aceh Meuceuhu Bansigom Donya" mencerminkan kejayaan Aceh sebagai negeri yang dihormati dan disegani secara global.
Namun, itu adalah narasi masa silam. Hari ini, Selasa, 29 April 2025, Aceh berada di persimpangan sejarah: apakah akan kembali menjadi negeri yang "Meuceuhu" (terkenal dan terpandang), atau justru "Meutanoem" (terkubur dan dilupakan)?
Kepemimpinan Aceh saat ini berada di tangan sosok kombatan-mantan panglima tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bersama wakilnya, juga berasal dari latar belakang serupa, memikul tanggung jawab besar untuk membawa perubahan substantif. Meski usia pemerintahan mereka masih seumur jagung, harapan besar telah dititipkan kepada mereka. Doa masyarakat mengiringi agar pemerintahan baru ini tidak hanya simbolis, melainkan hadir secara nyata membawa kemaslahatan bagi seluruh rakyat Aceh, dan secara nasional, untuk Indonesia.
Fokus utama yang diangkat adalah pengentasan kemiskinan. Sebab, sehebat apapun seseorang, jika perut kosong dan informasi terbatas, potensi dirinya akan mudah hancur. Terlebih bagi masyarakat akar rumput, yang akses terhadap kebijakan dan kesejahteraan sangat tergantung pada itikad baik pemerintah.
Apabila Pemerintah Aceh terjebak pada pola pembangunan berbasis investasi yang tak jelas komitmennya-hanya sekadar seremoni kerja sama tanpa ikatan manfaat konkret-maka dapat dipastikan akan muncul kembali gelombang kekecewaan dari masyarakat. Kegagalan memenuhi janji kampanye akan mencederai kepercayaan publik dan membuka celah bagi instabilitas sosial-politik.
Yang dibutuhkan rakyat Aceh saat ini bukanlah sekadar perencanaan, melainkan kepastian yang dapat dipegang. Kebijakan pembangunan harus berorientasi pada kepentingan masyarakat kecil, bukan memihak pada kelompok-kelompok tertentu. Sebaiknya, 70 persen anggaran APBA dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat desa, sebab dari sanalah banyak persoalan bermula, dan di sanalah pula pembangunan sejati harus dimulai.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh melakukan perombakan paradigma birokrasi. Kepala dinas dan Kabit Dinas tidak cukup hanya duduk nyaman di balik meja dan menunggu laporan. Mereka harus hadir di tengah rakyat, menyapa langsung realitas dan kebutuhan masyarakat. Di masa lalu, tidak jarang pejabat eksekutif dan legislatif menutupi identitas mereka saat turun ke lapangan-mengganti plat mobil dinas demi "menyamar". Namun, sebagai pejabat publik, transparansi dan keterbukaan adalah keniscayaan. Jika merasa enggan tampil di hadapan rakyat, lebih baik mundur daripada mencoreng citra Pemerintah Aceh.
Saat ini, para pejabat perlu menyadari bahwa mereka diberi amanah oleh rakyat melalui kepemimpinan Mualem/Dekfad. Amanah ini adalah kehormatan sekaligus tanggung jawab. Sudah semestinya mereka turun langsung ke lapangan, menyampaikan pesan bahwa Pemerintah hadir untuk mensejahtera kan, bukan menciptakan jarak.
Jangan sampai kepercayaan rakyat dibalas dengan provokasi atau pembiaran yang membuat mereka menjauh dari pemerintah. Jika hari ini Aceh tidak dibenahi dengan sungguh-sungguh, maka masa depan yang kita hadapi bisa jadi bukan kemajuan, melainkan keterpurukan. Dan ketika itu terjadi, Aceh mungkin akan benar-benar "Meutanoem".
Penulis: Gumarni, S.H., M.Si Koordinator Pemenangan Mualem/Dekfad Relawan Sahabat Mualem (SM) Aceh.
Editor: M. Sulaiman.