Bireuen
HL
Gerakan Massa Demo 50 Ribu: Menguak Dibalik Aksi Protes Pilkada Bireuen
BIREUEN- Gelombang unjuk rasa yang dilakukan oleh massa yang mengatasnamakan Gerakan Aliansi Masyarakat Bireuen (GAMB) pada Kamis, 12 Desember 2024, menyoroti sejumlah dinamika yang patut dikritisi.
Aksi ini dipimpin oleh Iskandar alias Tuih, yang menjabat sebagai Ketua Keamanan dan Satgas dari pasangan calon (Paslon) nomor urut 01, Murdani-Muhaimin. Dalam konteks ini, Tuih juga dikenal sebagai saksi untuk Mu'Min di Kecamatan Peusangan pada proses pleno penghitungan suara beberapa waktu lalu.
Massa berkumpul di depan Mapolres Bireuen sebelum melakukan orasi selama 20 menit dan membentangkan berbagai spanduk sebagai simbol protes. Kemudian, mereka bergerak menuju Kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang terletak di kawasan Paya Lipah, Kecamatan Peusangan.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa peserta aksi ini didominasi oleh Tim Sukses dan saksi dari pasangan calon nomor urut 01 yang mengalami kekalahan signifikan dalam Pilkada tahun 2024.
Bayaran dan Motivasi yang Dipertanyakan.
Menarik perhatian dalam aksi ini adalah klaim bahwa sebagian besar peserta aksi diduga menerima bayaran untuk ikut berunjuk rasa, dengan nilai berkisar antara Rp 50 ribu hingga 100 ribu rupiah. Seorang warga dari Lipah mengakui bahwa ia menerima bayaran 50 ribu untuk bergabung dalam demonstrasi tersebut, yang dikawal langsung oleh M. Reza alias Epong, seorang wartawan liputan Bireuen.
Informasi ini memunculkan pertanyaan serius tentang sejauh mana kemurnian motivasi dalam gerakan massa ini dan sejauh mana kepentingan politik mempengaruhi tindakan mereka.
Bayaran yang diberikan untuk mendukung aksi ini mencerminkan adanya komponen transaksional dalam konteks politik lokal. Praktik semacam ini, walaupun sering kali diliputi kepentingan elektoral, berbahaya karena dapat merusak kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilihan yang demokratis. Terlepas dari klaim bahwa sejumlah peserta berinisiatif dengan kesadaran penuh, tetapi kehadiran mereka dengan kompensasi semacam itu patut dicurigai sebagai bentuk manipulasi dalam dinamika politik.
Tuntutan yang Berulang dan Keabsahan Isu Curang
Massa dalam demonstrasi ini kembali menyoroti tuntutan lama: mendesak aparat hukum untuk menangkap pihak yang diduga terlibat dalam praktik politik uang selama proses pemilihan. Isu ini, meskipun belum terbukti secara hukum, tetap menjadi narasi yang dimainkan dalam sejumlah dinamika kontestasi politik. Selain itu, demonstran juga menuding bahwa penyelenggaraan pemilihan berlangsung curang, sebagai bentuk penyesalan atas kekalahan Paslon 01. Namun, tuduhan ini patut diajukan dengan pendekatan yang berbasis data dan investigasi yang transparan, bukan dengan memobilisasi massa untuk mengekspresikan kekecewaan tanpa dasar yang kuat.
Selama aksi berlangsung, aparat keamanan mengawal dengan ketat gerakan massa yang bergerak dari Mapolres hingga Kantor KIP. Anehnya, ketika wartawan berupaya menggali informasi lebih lanjut dengan wawancara, banyak peserta demonstrasi yang memilih bungkam dan menolak memberikan penjelasan terkait maksud serta latar belakang aksi mereka. Keengganan ini semakin menambah kesan bahwa ada agenda terselubung dalam aksi tersebut.
Hasil Pilkada dan Gambaran Kemenangan yang Telak
Sebagai catatan tambahan, hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Bireuen telah ditetapkan oleh KIP dengan kemenangan yang signifikan bagi pasangan H. Mukhlis-Razuardi. Pasangan ini berhasil meraih 122.754 suara atau sekitar 56 persen, sementara pasangan Murdani-Muhaimin hanya memperoleh 71.356 suara atau 32 persen, dan Paslon nomor urut 2, H. Husaini Ilyas-Husaini, hanya meraih 26.926 suara atau 12 persen.
Kemenangan ini menempatkan H. Mukhlis-Razuardi sebagai pemenang dengan keunggulan yang mutlak, menandakan bahwa kontestasi berjalan cukup transparan dan aman.
Namun, aksi demonstrasi ini menunjukkan ketidakpuasan yang terus bergulir dari kelompok pendukung Paslon 01. Di balik kekecewaan tersebut, muncul pertanyaan mendasar terkait kepentingan yang melatari gerakan ini: apakah murni sebagai bentuk keresahan terkait pemilihan yang tidak adil atau sekadar frustrasi yang dimobilisasi oleh kepentingan elektoral semata?
Penutupan dan Catatan Kritik
Dari rangkaian peristiwa ini, ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dikritisi. Pertama, praktik membayar massa untuk mendukung aksi politik menunjukkan pelemahan demokrasi melalui pendekatan transaksional.
Kedua, tuduhan tanpa bukti yang terus disuarakan dalam gerakan ini menciptakan atmosfer politik yang berisiko mengganggu stabilitas dan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilihan yang berkeadilan.
Oleh karena itu, aparat keamanan dan penyelenggara pemilihan harus serius melakukan evaluasi dan investigasi yang objektif terhadap tuntutan ini, sembari memastikan transparansi dan integritas dalam proses pemilihan mendatang. Demikian juga, kelompok politik harus mengevaluasi pendekatan mereka dalam menangani kekecewaan demi menciptakan praktik demokrasi yang lebih sehat dan berkualitas.(Rel)
Via
Bireuen