Bupati Aceh Tengah Minta 18 Sengketa Adat Diselesaikan Melalui Peradilan Adat

TAKENGON – Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar meminta Majelis Adat Gayo (MAG) setempat untuk mengawal eksistensi hukum adat Gayo. Hal ini bertujuan supaya adat-adat yang berlaku di masyarakat Gayo yang merupakan warisan leluhur bisa tetap eksis di tengah arus globalisasi.

Penegasan tersebut disampaikan Shabela dalam sambutannya saat membuka kegiatan Sosialisasi Pembinaan Kampung Adat terkait Peradilan Adat Kampung dan Peran Sarak Opat yang digelar oleh Majelis Adat Gayo Aceh Tengah di Aula Gedung Serbaguna Kampung Mendale Kebayakan, Rabu (9/11/2022).

Kegiatan yang bertemakan “Edet Enti Pipet Ukum Enti Ble, Kampung Musarak Nenggeri Mu Reje” itu diikuti oleh 40 orang peserta yang terdiri dari Reje, Petue, Imem dan Tokoh adat dari beberapa Kecamatan, seperti Kecamatan Kebayakan, Bebesen, Lut Tawar, Bintang, Pegasing dan juga Bies.

Dalam kesempatan tersebut, Shabela Abubakar menekankan agar 18 perkara atau sengketa adat yang telah diatur pada Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dapat diselesaikan di kampung melalui melalui mekanisme Peradilan Adat. 

Ke 18 perkara yang dimaksud, yaitu: perselisihan dalam rumah tangga; sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; perselisihan antar warga; khalwat meusum; perselisihan tentang hak milik; pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); perselisihan harta sehareukat; pencurian ringan; dan pencurian ternak peliharaan.

Kemudian pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; persengketaan di laut; persengketaan di pasar; penganiayaan ringan; pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; pencemaran lingkungan (skala ringan); ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Shabela meminta agar 18 perkara ringan ini bisa diselesaikan oleh pemangku adat di kampung, tanpa harus dibawa ke ranah hukum atau ke pihak kepolisian. Menurut Shabela, penyelesaian sengketa melalui peradilan adat lebih menyejukkan karena pendekatannya adalah kekeluargaan dan perdamaian.

Secara khusus, Bupati Aceh Tengah meminta Sarak Opat untuk memaksimalkan peran dan fungsinya dalam mengawal eksistensi hukum adat Gayo, termasuk meng-hidupkan peradilan adat di kampung-kampung.

“Terlebih saat ini Pemerintah Aceh telah memiliki qanun tersendiri terkait dengan sengketa adat. Tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008. Silahkan selesaikan 18 sengketa yang tercantum dalam pada Qanun itu. Jangan diserahkan ke polisi, jika pun sudah di polisi masih bisa diambil kembali untuk diselesaikan di kampung,” pintanya.

Shabela juga berharap agar reje (kepala desa), mukim, serta camat terus mengawal eksistensi Hukum Adat Gayo yang telah melekat secara turun temurun. Begitu juga untuk mengimplementasikan Qanun Aceh tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

“Pihak yang berperan dalam menangani sengketa adat ini harus mampu Nemah Tawar Bengi (membawa kesejukan). Memusyawarahkan cek cok di desa sesuai muatan hukum adat dan Qanun Aceh, jangan sedikit sedikit diserahkan ke polisi,” harap Shabela.

Untuk diketahui, tatanan kehidupan masyarakat kampung adat di wilayah Dataran Tinggi Gayo, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah diatur oleh sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan Sarak Opat (di daerah pesisir Aceh disebut dengan Tuha Peuet). Sarak Opat adalah bagian dari struktur hirarki pemangku adat di Aceh Tengah yang berkedudukan di kampung.

Sarak Opat adalah lembaga yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjaga dan memelihara harkat dan martabat serta kehormatan ‘Sarak’ (wilayah, kampung), juga memelihara te-gaknya hukum adat dan budaya Gayo dalam kehidupan masyarakat Gayo yang selaras dengan syariat Islam. Sarak Opat adalah struktur pemerintahan yang disusun sejak masa pemerintahan Kerajaan Linge. 

[](/Adv)


Postingan Lama
Postingan Lebih Baru