Muda Seudang Pusat Lakukan Diskusi Terkait Migas Di Aceh


THEATJEH.NET,Banda Aceh --- Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Muda Seudang melakukan diskusi publik via virtual (zoom meeting) dengan Kepala Dinas ESDM Aceh, Kepala BPMA, dan pengamat kebijakan Teuku Murdani mahasiswa Doktoral University of Canberra Australia, dan Muhammad Ridwansyah dari DPP Muda Seudang pada Senin Malam, 26 Juli 2021. 

Menurut Ketua Umum DPP Muda Seudang Agam Nur Muhajir menjelaskan secara historis ladang minyak di Rantau ditemukan tahun 1928 dengan menghasilkan produksi minyak sebesar 136 m3/hari, temuan ini masa Pemerintahan Hindia Belanda. Namun pasca Indonesia Merdeka perusahaan ini dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi berubah nama Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU). Keberadaan PT.

Pertamina EP Rantau Field pasca MoU Helsinki seharusnya menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan ini amanah frasa 1.3.3. "Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut territorial di sekitar Aceh". Kita tidak mau perjuangan yang sudah berdarah-darah ini tidak memberikan dampak signifikan ke rakyat Aceh. Kita harus tunaikan apa-apa saja yang menjadi amanah MoU Helsinki, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. 

Ir. Mahdinur, MM, selaku Kepala Dinas EDSM Aceh menguraikan bahwa sebenarnya  PT. Pertamina EP Asse1 1 Rantau Field ini KKSnya berada oleh PT. Pertamina dan dibawah pengawasan SKK Migas, masa KKSnya sampai 2032 akan berakhir. Jikapun semangatnya hendak dialihkan ke BPMA maka apakah secara normatif itu dibolehkan atau memang karena kalau kita jujur kontraknya masih berjalan dan kategori WK nusantara dari Sabang sampai Merauke. 

Teuku Mohamad Faisal selaku Kepala BPMA yang diwakilkan oleh Adi Yusfan, S.E.,M.Si selaku Divisi Formalitas dan Hubungan Eksternal BPMA bahwa BPMA sangat siap dalam alih kelola wilayah kerja pertamina EP (Asset I Field Rantau), beliau menegaskan bahwa ini amanah Pasal 160 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Turunan norma tersebut terbentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015  yang menegaskan bahwa migas-migas di Aceh dapat dikelola oleh BPMA, tentu ini harus dukungan dari Pemerintah Aceh dan DPRA agar migas-migas kita di Aceh terus dialihkan statusnya (KKSnya) dibawah BPMA.  Seharusnya lapangan rantau berada di wilayah kewenangan Aceh, namun saat ini lapangan tersebut dibawah pengawasan SKK Migas. Hal ini perlu disesuaikan dengan PP tersebut dimana seharusnya pengawasan terhadapan lapangan Rantau merupakan wewenang BPMA. 

BPMA juga menekankan bahwa dengan masuknya lapangan Rantau ke dalam pengawasan untuk mengupayakan memaksimalkan penerimaan negara kedepannya berada pada tahap secondary dan tertiary recovery bahkan diharapkan dengan masuknya lapangan Rantau ke dalam pengawasan BPMA akan mendapatkan pengawasan lebih khusus guna meningkatkan produksi minyak mentah. 

Selaras dengan di atas, Muhammad Ridwansyah, M.H., selaku Kepala Departemen Advokasi, Politik & Hukum DPP Muda Seudang menambahkan ketika Aceh 2021 divonis sebagai daerah termiskin di Sumatera, salah satu indikatornya, rendahnya pertumbuhan ekonomi, rendanya kualitas belanja pembangunan, harmoni eksekutif-legislatif, tinggi tingkat pengangguran dan lain-lain.Di sisi lain, PT. produksi minyak mentah perusahaan minyak dan gas bumi PT. Pertamina EP Asset 1 Rantau Field melampaui target dari 2.730 Barel Oil Per Day (BOPD) menjadi 3.215 bopd (tahun 2018). Jika 3.215 bopd  setara dengan 511.185 liter ketika dirupiahkan dengan 4500 saja maka total perhari penghasilan PT. Pertamina Rantau Rp. 2.300.332.500, dan itu hanya sebagian saja titik Aceh (Rantau, Aceh Tamiang). Coba anda bayangkan ketika Aceh sendiri yang akan mengelola hal demikian? Maka pengentasan kemiskinan yang paling cepat adalah alih status KKS lapangan Rantau ke BPMA.  Frasa amanah jelas kita temukan dalam MoU Helsinki, UU 11 Tahun 2006, dan PP Nomor 23 Tahun 2015. 

Teuku Murdani selaku mahasiswa PhD di University of Canberra menerangkan berbeda pendapat dalam alih KKS lapangan Rantau kepada BPMA, dia mencontoh kejadian yang terjadi Blok B yang dikelola oleh PT. PEMA yang sampai sekarang tidak menuai kemajuan.

Bahkan PT. PIM yang selama ini mengambil atau membeli gas dari PT. Pertamina Hulu Energi terpaksa stop karena pasokannya tidak tersedia setelah dikelola oleh PT. PEMA tersebut. Kita sangat menyayangan hal ini, ketika proses KKS dibawah BPMA dan tidak berhasil maka catat sejarah akan menjelaskan kepada kita semua bahw BPMA dan PT. PEMA tidak berhasil.

Kemudian dia menjelaskan bahwa BPMA ini menjadi urat nadi kemajuan migas di Aceh, ada ribuan nyawa yang hilang saat konflik dan hasilnya adalah terbentuknya BPMA. Dan kita harus paham bahwa pengambilalihan KKS harus dipahami dan ditelaah secara cermat supaya tidak salah langkah kedepannya. ()
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru