News
Hari Toleransi Internasional Dan Kebhinekaan Indonesia
NET ATJEH, BANDA ACEH --- Marajut Perbedaan Dalam Bingkai Kebhinnekaan" Tanggal 16 November, sejak tahun 1995, telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai "Hari Toleransi Internasional." Ditetapkannya Hari Toleransi Internasional adalah untuk mengingatkan dan memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang kebutuhan akan toleransi dan dampak negatif dari intoleransi, Kamis 16 November 2017.
Hari Toleransi adalah saat yang tepat untuk mengajak masyarakat untuk mengakui dan menghargai hak dan keyakinan orang lain serta menyadari betapa ketidakadilan, penindasan, rasisme, diskriminasi, kebenciaan berbasis agama, dan sejenisnya mempunyai dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bersama.
Toleransi adalah pengakuan, penghormatan, penerimaan, dan penghargaan atas keanekaragaman budaya, agama, suku/etnis, ekspresi, pilihan politik, dan cara pandang setiap insan manusia. Sikap toleransi akan memupuk keterbukaan,
pengetahuan, kebebasan, dan harmoni dalam keragaman. Toleransi bukan hanya sikap moral tapi juga harus menjadi sikap politik dan hukum seperti penciptaan dunia damai tanpa perang dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas.
Toleransi bukanlah jasa baik atau belas kasih kepada kelompok minoritas yang berbeda, akan tetapi merupakan kewajiban setiap individu, kelompok, dan Negara. Dengan demikian, toleransi bisa diartikan juga sebagai tanggungjawab untuk menegakkan hak asasi manusia, pluralisme,
demokrasi, dan rule of law. Dalam konteks Indonesia, Hari Toleransi Internasional adalah saat yang tepat untuk mengingatkan kembali bahwa warganegara Indonesia mempunyai hak-hak kewarganegaraan yang harus dilindungi oleh Negara sebagaimana termaktub dalam Konstitusi Republik Indonesia maupun dalam instrumen HAM internasional.
Patut dicatat, toleransi yang dikampanyekan bukanlah toleransi terhadap ketidakadilan. Toleransi yang dimaksud di sini adalah menerima dan mengakui kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah berbeda, dan semua mempunyai hak untuk hidup sebagaimana diri mereka sendiri tanpa penindasan, paksaan, diskriminasi,
dan ketidakadilan. Sehingga perdamaian hanya akan bermakna jika terwujud keadilan. Seperti kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
Hari Toleransi Internasional juga saat yang tepat untuk mengingatkan bahwa kita, sebagai bangsa, mempunyai pengalaman, pengetahuan, dan praktik yang sangat hebat dalam hal toleransi. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat di nusantara mempunyai akar yang sangat kuat dalam hal toleransi. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yang selalu dipegang erat Garuda Pancasila itu tentu bukan lahir dari ruang kosong. Sejak era pra-kolonialisme, bangsa ini sudah hidup damai berdampingan meski berbeda suku dan agama. Keberhasilan Bangsa Indonesia yang sangat beragam suku, etnis, agama, dan adatnya untuk membangun kebersamaan di dalam Republik Indonesia adalah bukti lain betapa bangsa ini adalah bangsa cinta damai dan mampu mengelola perbedaan dengan cerdas dan matang.
Toleransi Keberagaman di Aceh
Keberagaman bagi masyarakat Aceh adalah sebuah keniscayaan. Aceh dibangun oleh berbagai suku/etnis, dan agama. Keragaman tersebut yang berimplikasi pada pluralitas bahasa, tradisi dan budaya, merupakan modal utama Aceh menjadi daerah yang kuat dan besar.
Sejarah telah membuktikan Aceh sebagai daerah yang kosmopolit di masa lalu dan masyarakatnya yang multikultural bisa hidup rukun berdampingan dan saling menghargai, sampai kemudian kemajmukan tersebut menjadi hilang dan luntur karena terjadi konflik bersenjata RI-GAM yang cukup berkepanjangan.
Selama ini banyak kasus intoleransi yang berkembang di Indonesia dan juga berdampak ke Aceh, dimana ada banyak ujaran kebencian yang membuat orang lain akhirnya harus terusir dan bahkan dibunuh karena beda keyakinan, ada stigma negatif terhadapa sukunya yang membuat orang yang berbeda sukunya saling berjarak hanya karena lahir dari suku yang berbeda,
ada hak orang sebagai yang terabaikan bahkan tidak terpenuhi hanya karena mereka lahir sebagai minoritas dalam satu kelompok masyarakat yang manyoritas, ada anak yang dibully hanya karena dia berbeda agama, suku dan warna kulit dengan kebanyakan anak lainnya, ada elit politik yang harus diteror dengan black campaign bahkan sampai mendapat kekerasan hanya karena pilihan politik yang berbeda,
ada perempuan yang mendapatkan kekerasan karena dia sebagai perempuan yang berbeda cara ekspresinya dan lain sebagainya yang cukup memprihatinkan. Kondisi tersebut tentunya membuat kita sebagai masyarakat Aceh dan sama-sama makhluk yang ditakdirkan lahir beragam karena kekuasaan Tuhan menjadi saling menyakiti, dan negara juga menjadi bagian dari itu.
Toleransi harus dimaknai sebagai tindakan aktif, bukan sikap pasif. Sikap mengakui adanya keragaman tapi hanya diam ketika ada yang hak orang lain dirampas, diam ketika ada kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi pada orang lain dan tidak mau membangun kebersamaan dengan mereka yang berbeda bukan merupakan toleransi.
Bersikap toleran bukan berarti harus sama karena tuhan sudah menciptakan kita berbeda, namun bertoleran adalah bersikap saling, saling hormat, saling menyayangi, saling melindungi dan saling menghargai dalam ketidaksamaan dengan demikian, bertoleran adalah aktif mengupayakan situasi damai, membangun dialog dengan mereka yang berbeda, melindungi hak kaum minoritas, dan seterusnya agar kehidupan kita di Aceh
lebih Harmonis. Peran aparat penegak hukum yang massif sangat diharapkan untuk melindungi kelompok minoritas sama dengan melindungi kelompok manyoritas dan menghukum mereka yang melakukan aksi kekerasan. Perdamaian, toleransi, dan kehidupan bersama, hanya bisa dimungkinkan dengan adanya sikap toleransi aktif serta penegakan hukum yang tegas.
Berangkat dari keprihatinan atas kondisi tersebut, Lintas Generasi Bina Damai Yang terdiri dari Beberapa Komunitas khususnya dari kalangan generasi muda, (Lakpesdam NU, HAKKA, YAB, ADO, Kontras Aceh, Politeknik Aceh, Young Voice Indonesia, YFA, Aceh Leader Project, Gempur, PKBI Aceh),
menganggap perlu mengajak masyarakat Aceh untuk kembali menata kehidupan bermasyarakat yang saling menghargai dan membangun Aceh yang multikultural sebagaimana fitrahnya, dengan menghentikan segala bentuk tindakan intoleransi dan pemaksaan keseragaman atas dasar apapun. Melalui kegiatan seperti: Karnaval,
Pagelaran Kebudayaan, dialog kebangsaan, ikrar hari Toleransi, Lomba Mengwarnai dan lomba menggambar yang bertepatan dengan momentum Hari Toleransi Internasional, diharapkan dapat kembali menyuarakan Aceh yang multikultural dan pentingnya menghargai perbedaan, agar perdamaian dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh, apapun agama, suku dan kelas sosialnya, jika Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi semua.Rilis,(ATJEH NET)(BR)(MS)
Via
News