Kisah Kerajaan Aceh dan Kerajaan Turki serta Hubungannya

ATJEH NET -- Hubungan antara Aceh dengan Turki sudah berlangsung lama. Disebutkan bahwa di Banda Aceh terdapat Kampung Bitai dan Emperom yang merupakan cikal bakal tempat tinggal orang Turki di Aceh. Di Kampung Bitai banyak terdapat makam yang diyakini sebagai keturunan Turki, dan Suriah di Kampung Surin. Asal kata Bitai disebutkan berasal dari kata Baital Maqdis, lama kelamaan berubah menurut lidah Aceh yaitu Bitai, sedangkan Emperum berasal dari Empe dan Rium, demikian juga dengan Surin, disebutkan berasal dari kata Suriah.

Sumber Portugis menyebutkan bahwa pertengahan abad ke-16 (sekitar tahun 1540 M) Aceh telah mengadakan hubungan dengan Turki. Pinto, seorang petualang Portugis menyebutkan bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli, bantuan tersebut dibawa oleh kapal Aceh sebanyak 4 buah yang sengaja datang ke Turki untuk mendapatkan alat-alat senjata dan pembangunan.

Selama abad ke-16 dan ke-17 terjadi pertukaran, baik dagang maupun diplomatik dan budaya antara Istanbul dengan Aceh. Utusan Aceh yang pertama ke Konstantinopel pada tahun 1562 M yang dikirim oleh Sultan Ala Addin Riayat Syah Al Kahhar.
 
Dalam rangka memperoleh bantuan dari Kerajaan Islam terbesar pada waktu itu, pada tahun 1563 M sultan Aceh mengirim suatu utusan ke kerajaan Turki. Utusan tersebut membawa serta hadiah-hadiah berharga dari sultan Aceh kepada penguasa kerajaan Turki. Hadiah-hadiah itu berupa emas, rempah-rempah dan lada.
 
Selain pemberian hadiah, para utusan Aceh juga telah meyakinkan pihak Turki mengenai suatu keuntungan yang akan diperoleh pihak Turki dari perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara, apabila orang-orang Portugis telah diusir dari Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki. Perutusan Aceh itu dapat dikatakan berhasil karena suatu keputusan Sultan Selim II Turki bertanggal 16 Rabiul Awal 975 atau 20 September 1567, berisi penyambutan positif atas permintaan sultan Aceh yang dibawa oleh wazirnya bernama Husin. Dari pertemuan Husin dengan Selim II diketahui betapa besarnya tekad kaum muslimin di kepulauan Nusantara untuk mengusir kafir Portugis.

Akhirnya pihak Turki bersedia mengirim bantuan kepada Aceh, berupa dua buah kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal itu. Di antara 500 orang Turki itu juga terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang baik ukuran besar maupun kecil dan meriam berukuran besar. Selain itu, pihak Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer kepada pihak Aceh. Laksamana Turki Kurt Oglu Hizir diserahi tugas untuk memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam dan merampas benteng-benteng kafir.

Di lain pihak, Portugis juga meningkatkan kegiatan-kegiatannya, sekitar tahun 1554-1555 M armada Portugis mengendap terus di pintu masuk laut Merah khusus untuk menyergap kapal-kapal yang datang dari Gujarat dan Aceh. Namun, pengalaman Portugis menunjukkan tidak begitu berhasil mematahkan kegiatannya. Lebih merepotkan Portugis, di samping kegiatan Aceh menghadapi Portugis di laut lepas, Aceh juga tidak henti-hentinya menyerang Malaka. Atau seperti dikatakan oleh Couto dalam ungkapannya bahkan di tempat tidurnya pun Sultan Riayat Syah (Al Kahhar) tidak pernah diam untuk memikirkan pengganyangan Portugis.

Di samping bantuan militer yang diperoleh dari Turki, Aceh juga berusaha mendapatkan dari beberapa pemimpin kerajaan di Nusantara dan India tetapi Aceh hanya mendapatkan sekedar bantuan yang terbatas dari pemimpin Calicut dan Jepara. Selain itu, dalam rangka mengenyahkan Portugis dari kawasan selat Malaka, Aceh juga menggunakan tentara-tentara sewaan yang terdiri atas orang-orang Gujarat, Malabar dan Abyssinia.
 
Pada masa Sultan Al Mukammil, juga melakukan hubungan dengan Sultan Turki, Mustafa Khan. Ketika itu Sultan Mustafa Khan mengirim subuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberi pula sebuah pernyataan dan izin bahwa kapal-kapal perang Kerajaan Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di tiang kapal perangnya.

Selain itu, dalam Hikayat Aceh terdapat cerita panjang lebar tentang penyambutan perutusan Turki oleh Sultan Iskandar Muda. Suatu perutusan yang dipimpin oleh dua orang datang mencari kamper dan nafta yang diperlukan untuk obat.

Suatu ketika perutusan Aceh diberangkatkan ke Turki (Rum) untuk mengadakan perhubungan antara Aceh dengan Turki. Bingkisan yang dikirim untuk sultan Turki yang terpenting adalah lada, memenuhi semua kapal-kapal yang diberangkatkan. Karena terlalu lama dan banyak rintangan di laut, menyebabkan muatan lada menjadi habis di jalan dan tinggallah secupak lada saja yang dapat disampaikan sebagai bingkisan kepada Sultan Turki. Disebutkan bahwa kapal Aceh menempuh laut Merah lewat Mecha (suatu pelabuhan di Jazirah Arabia), lintasan laut sempit, dari situ berjalan darat melewati Palestina dan Syria (Suriah).

Kisah lada sicupak ini meskipun sudah merupakan dogeng, tetapi terus hidup di tengah masyarakat Aceh. Walaupun demikian, dalam kisah tersebut dapat saja dicari kebenarannya. Salah satu dari bait syair yang dinyanyikan dalam tarian seudati, yang berhubungan dengan peristiwa lada sicupak, sebagai berikut :
 
Dengo lon kisah Panglima Nyak Dom, U nanggroe Rum troih geubungka, Meriam sicupak troih gepuwo, Geupeujaro bak po meukuta. (Dengarkan kisah Panglima Nyak Dum, Berlayar sampai ke negeri Rum, Meriam sicupak dibawa pulang, diserahkan kepada paduka Mahkota).
Di Aceh na alam peudeung, Cap sikureung bak jaroe raja,Phon di Aceh troh u Pahang,
Tan soe teuntang Iskandar Muda, Bangsa Portugis angkatan meugah, Laju geupinah di Aceh raya U Melaka keudeh di piyoh, Keunan pih troh geupicrok teuma... hudep saree matee syahid, salah narit peudeung peuteupat,  salah seunambat teupeuroe dumna.ini lah makna perjuangan yang hakiki untuk aceh islam jaya,di bumi serambimeukah aceh nyo.tutup. (M.S.Itangen)


Postingan Lama
Postingan Lebih Baru