MARAKNYA PUNGLI DI SMP NEGERI 1 BIREUEN MULAI TERKUAK
BA | Bireuen Pungli di SMP Negeri 1 Bireuen sedang marak yang saat ini sudah mulai tercium dikalangan masyarakat dengan pengambilan uang pendaftaran siswa baru sebesar Rp.800 Ribu Rupiah, dan ditambah lagi dengan dana sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sebesar Rp.100 Ribu Rupiah perbulannya.
Namun saat di konfirmasi kepala sekolah SMP Negeri 1 Bireuen, Adnan di ruangan kerjanya pada selasa (24/05/2016).
Membenarkan adanya pengutipan uang pendaftaran ulang sebesar Rp.800 Ribu Rupiah, dengan dalih sebagai uang baju sebanyak (3) pasang diantaranya, topi jelbab dan simbol dan ia juga megatakan hal tersebut sudah dilakukan di semua sekolah contonya di SMP Negeri 2 Bireuen," Ungkap kepala sekolah SMPN 1 Bireuen pada awak media ini".
Tambahnya lagi, kalau untuk dana yang Rp.100 Ribu Rupiah itu bukan kita ambil sebagai SPP namun itu sebagai sumbangan dari wali murid yang diberikan sebagai uang tambahan untuk para dewan guru yang mengajar sore dan itu sudah kita sepakati pada rapat dengan komite dan juga dihadiri oleh para wali murid" Jelasnya".
Hal ini dapat dilihat dari diberlakukannya peraturan ini sekaligus menghapus beberapa peraturan pemerintah sebelumnya antara lain PP Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Pra-sekolah, PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, PP Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan, PP Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional, PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum.
Sebagai bahan pembahasan kali ini adalah adanya beberapa larangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, dalam peraturan pemerintah dewan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 181.
Pertama, larangan untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam disatuan pendidikan.
Kedua, larangan untuk memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan.
Ketiga, larangan untuk melakukan segala sesuatu baik secara langsung mau pun yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik.
Ke-empat, larangan untuk melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung mau pun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berbagai larangan tersebut tentunya bermakna sebagai upaya positif pemerintah untuk menetralisir fungsi pendidikan dari campur tangan pihak ketiga yang ingin menjadikan sekolah sebagai sebagai"agen" produk produk mereka.
Sebagai contoh dapat dilihat penjualan bahan pakaian seragam, buku pelajaran, LKS dan lain lainnya yang dijual melalui "agen" disekolah.
Penjualan produk langsung kepada konsumen (siswa/i) melalui agen adalah upaya produsen untuk menggelapkan pajak penjualan yang akhirnya juga dapat merugikan pemerintah dalam penerimaan pajak.
Selain kerugian pajak penjualan, pemerintah juga dirugikan karena kader-kader pembangunan bidang pendidikan telah terkontaminasi oleh virus-virus yang mengubah fungsi pendidik menjadi "agen penjualan" atau "sales" dari produsen.
Melihat dampak negatif terhadap pelanggaran larangan tersebut, selayaknya para pendidik dan tenaga kependidikan berpikir kembali bilamana akan melakukan pelanggaran terhadap larangan larangan tersebut.
Namun, apabila para pendidik dan tenaga kependidikan nekad untuk melakukan pelanggaran, maka pemerintah sudah menyiapkan hukuman yang akan menjerat para pelanggar itu sebagaimana di atur dalam pasal 12 Undang Undang Nomor UU No.20 Th 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apabila pendidik dan tenaga kependidikan terlanjur melakukan pelanggaran, sebaiknya melakukan pengembalian disertai permintaan maaf kepada orang tua/wali siswa/i.
Hal ini merupakan iktikad baik sebelum mendapatkan gugatan hukum, baik pidana mau pun perdata. Dari orang tua/wali siswa/i yang akan menyambut positif langkah pengembalian dan permintaan maaf tersebut. (faZ)